• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Mandat Kesucian: Mencuci Kaki sebagai Jalan Keluar dari Dosa Dunia

Mandat Kesucian: Mencuci Kaki sebagai Jalan Keluar dari Dosa Dunia

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam perjalanan spiritual manusia, dosa asal bukan sekadar kisah lama tentang kejatuhan manusia pertama, melainkan cermin hidup tentang keterikatan kita pada bumi—pada hal-hal yang masih mengikat jiwa pada dunia yang fana. Meski peristiwa penyaliban dan kebangkitan telah membuka jalan keselamatan, manusia tetap membawa jejak bumi itu, simbol yang dalam kisah iman digambarkan sebagai “kaki yang masih kotor”.

Kaki adalah bagian tubuh yang selalu bersentuhan dengan tanah—dengan realitas dunia yang keras dan penuh godaan. Karena itu, simbol “mencuci kaki” bukan hanya ritual kebersihan, melainkan tindakan spiritual: saling mengampuni, saling membersihkan jiwa dari debu dunia yang menempel tanpa disadari. Pengampunan bukan sekadar kata, tetapi proses penarikan diri dari pusaran dosa yang selalu aktif menjerat manusia dalam bentuk keserakahan, iri hati, atau keinginan duniawi yang tak terpuaskan.

Makna “anak domba Allah yang mengangkat dosa dunia” mengingatkan bahwa dosa tidak dihapus, tetapi manusia diangkat keluar dari dosa. Dunia tetap menyimpan daya tariknya; karena itu manusia dipanggil untuk terus naik, mendekat ke sumber terang, dengan menumbuhkan iman yang mendahului akal—fides quaerens intellectum, iman yang mencari pengertian.

Selama manusia masih mendahulukan rasio dan kebutuhan jasmani—rakus makan, mengejar penampilan, mengutamakan harta—ia masih berjalan di tanah, belum terangkat ke atas. Rasa lapar yang tak pernah selesai, keserakahan yang melahirkan sakit jasmani dan batin, semua itu menunjukkan bahwa manusia belum keluar dari dosa asalnya.

Namun iman yang sejati membawa perubahan arah pandang. Ketika manusia menempatkan iman di atas segala kebutuhan duniawi, bumi tak lagi menjadi jerat, melainkan ladang pelayanan. Hidup bukan lagi tentang “memiliki”, tetapi tentang “memberi”. Saat seseorang menyadari dirinya diutus untuk menyembuhkan, menguatkan, dan mengampuni, mandat ilahi itu mulai berbicara dari dalam dirinya sendiri—mengalir tanpa rencana, bekerja tanpa pamrih, sebagaimana sabda yang telah menjadi daging di dalam manusia.

Setiap orang sesungguhnya adalah figur publik di lingkungannya: diakui oleh keluarga, teman, atau masyarakat kecil tempat ia hidup. Karena itu, tugas menyebarkan cahaya dan kasih bukan hanya milik nabi atau rasul, tetapi setiap jiwa yang rela membersihkan kaki sesamanya—yang mau menunduk, menyentuh bumi, lalu mengangkat yang lain agar turut bersih dan ringan.

Kesucian tidak lahir dari menjauh dari dunia, tetapi dari keberanian untuk hidup di tengah dunia tanpa terikat padanya. Di situlah dosa asal kehilangan kuasanya: ketika manusia mulai berjalan bukan dengan kaki yang berat oleh lumpur bumi, tetapi dengan langkah ringan karena telah saling mengampuni, saling membersihkan, dan saling mengangkat satu sama lain menuju Kerajaan Surga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *