
Manusia, Jiwa, dan Dignitas yang Hilang
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, manusia perlahan kehilangan sesuatu yang paling mendasar dalam dirinya: jiwa. Sains telah membentuk dunia modern menjadi begitu rasional, terukur, dan sistematis—namun di saat yang sama, manusia semakin jauh dari suara hatinya sendiri. Pikiran menjadi raja yang memerintah segalanya, sementara jiwa yang semestinya menjadi pengendali kehidupan justru dibungkam.
Kelahiran yang Tidak Lagi Jiwaiah
Sejak awal kehidupan dalam kandungan, manusia sesungguhnya adalah makhluk yang berjiwa. Janin tidak hanya tumbuh melalui nutrisi fisik, tetapi juga melalui resonansi jiwa ibunya. Pancaindra ibu menjadi medium bagi jiwa janin untuk berinteraksi dengan dunia. Ketika ibu mendengarkan intuisi dan emosinya, sebenarnya ia sedang membuka saluran komunikasi bagi jiwa anak yang sedang bertumbuh.
Namun selama berabad-abad, manusia mendewakan pikiran. Perawatan kehamilan direduksi menjadi perkara medis, nutrisi, dan prosedur klinis. Sementara dimensi kejiwaan, rasa, dan intuisi dianggap tidak ilmiah. Padahal, itulah bahasa asli kehidupan—bahasa kasih yang mendengarkan sebelum menilai.
Arogansi Pikiran
Sains memang lahir dari pikiran, dan pikiran adalah anugerah. Namun ketika ia diangkat menjadi satu-satunya ukuran kebenaran, maka lahirlah arogansi baru: bahwa yang tidak bisa dijelaskan dianggap tidak ada. Alam, hewan, bahkan manusia sendiri akhirnya dipandang hanya dari kacamata rasional. Jiwa pun kehilangan tempatnya.
Paradoksnya, di balik segala kecerdasan modern, manusia justru makin rapuh. Gangguan jiwa, relasi yang dangkal, hingga alienasi spiritual menjadi bukti bahwa pikir tanpa jiwa melahirkan kehampaan. Manusia menjadi produk sains, bukan karya kasih.
Krisis Identitas dan Keterpisahan
Manusia modern hidup dalam banyak peran—profesional di kantor, orang tua di rumah, dan pribadi di tengah masyarakat. Namun kemampuan untuk berpindah peran dengan kesadaran batin semakin tumpul. Banyak orang membawa identitas “manajer” atau “pekerja” hingga ke rumah, memperlakukan keluarga seperti sistem kerja, bukan ruang kasih. Di sinilah kehilangan terbesar itu terjadi: rumah bukan lagi tempat dialog jiwa, melainkan kelanjutan dari birokrasi pikiran.
Hubungan suami-istri, orang tua-anak, bahkan diri dengan Tuhan pun terfragmentasi. Orang lebih mengenal rekan kerja daripada anggota keluarganya sendiri. Relasi batin yang seharusnya personal, hangat, dan penuh pengampunan kini digantikan oleh interaksi lewat layar. Teknologi memendekkan jarak fisik, tetapi memperjauh jarak jiwa.
Kehancuran Bertingkat
Kerusakan ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia bertumbuh dalam lapisan-lapisan sejarah manusia:
- Manusia menjauh dari Tuhan.
- Manusia kehilangan hubungan dengan dirinya sendiri.
- Alam dirusak atas nama kemajuan.
- Suara hati dibungkam oleh logika.
- Dan kini, puncaknya: pikiran keluar dari tubuh manusia, menjelma sebagai artificial intelligence yang seolah lebih tahu daripada manusia itu sendiri.
Ironisnya, manusia bahkan tidak menyadari kehancuran ini. Ia digiring secara massal, dengan keyakinan bahwa ia sedang maju, padahal sedang kehilangan kemanusiaannya sedikit demi sedikit.
Kembali pada Dignitas
Yang dibutuhkan bukan sains baru, melainkan kesadaran baru: bahwa manusia harus kembali menempatkan jiwa sebagai pusat kehidupannya. Pikiran dan sains tetap berguna, tetapi harus melayani kasih, bukan menggantikannya. Martabat manusia (dignity) tidak diukur dari kecerdasan intelektual atau kemampuan teknologinya, melainkan dari keutuhan antara jiwa, tubuh, dan kasih.
Peradaban yang sejati adalah peradaban yang mendengarkan jiwa—karena hanya dengan mendengarkan, manusia dapat sungguh mencintai. Dan hanya dengan mencintai, manusia dapat menjadi benar-benar hidup.

