Manusia: Jiwa yang Bertubuh, Bukan Tubuh yang Berjiwa
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian mengagungkan tubuh dan pikiran, ada satu gagasan mendalam yang kerap terabaikan: bahwa manusia sejatinya adalah jiwa yang bertubuh, bukan tubuh yang berjiwa. Perspektif ini menggeser fokus manusia dari sekadar merawat fisik dan mengandalkan pikiran, menjadi perhatian mendalam pada jiwa—sumber kehidupan dan arah spiritual manusia.
Tubuh hanyalah wadah, ekspresi dari keberadaan jiwa. Pikiran? Ia hanya instrumen jiwa, bukan pusat dari segalanya. Namun dunia seringkali tertukar: menjadikan pikiran sebagai pusat kendali dan tubuh sebagai panggung utama. Akibatnya, banyak yang lupa bahwa semangat, kesadaran, intuisi, bahkan cinta—semuanya berakar dari jiwa, bukan dari otak.
Ketika manusia menyadari bahwa dirinya adalah jiwa yang memakai tubuh, maka segala relasi dalam hidup menjadi lebih bermakna. Komunikasi, misalnya, bukan lagi soal menyampaikan pesan lewat kata-kata, melainkan soal penyatuan jiwa. Komunikasi sejati bukan yang memisahkan, melainkan yang menyatukan. Bila komunikasi hanya memancing perpecahan, ia bukan komunikasi dalam arti hakiki—melainkan hanya sebatas pertukaran pikiran kosong.
Kesadaran ini penting dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk relasi rumah tangga. Seorang suami yang menyadari bahwa ia berkomunikasi dengan jiwa istrinya, bukan hanya mulut dan telinga, akan memandang pasangannya secara lebih utuh. Ia akan bertanya kepada Sang Pencipta sebelum menanggapi, menyelaraskan kata-kata agar sesuai dengan kebutuhan jiwa pasangannya, bukan sekadar pikiran logisnya.
Hal serupa juga berlaku dalam hubungan antara orang tua dan anak—bahkan sejak dalam kandungan. Janin adalah jiwa yang sudah hidup, meski belum sempurna tubuhnya. Ia berkomunikasi dengan jiwa ibunya lewat intuisi, perasaan, pancaindra sang ibu. Ia menyampaikan apa yang disukainya, apa yang tidak, kapan ia ingin beristirahat, atau kapan ia ingin mendengar suara lembut ayahnya. Maka pendidikan pun seharusnya dimulai bukan sejak anak lahir, melainkan sejak kesadaran kehadiran jiwanya diketahui.
Pendidikan sejati adalah membentuk jiwa agar mengenali tubuhnya, lingkungan sekitarnya, dan akhirnya mengenali Sang Pemberi Hidup. Jiwa butuh nutrisi bukan dari makanan jasmani, tetapi dari kebaikan, kasih, dan relasi dengan Sang Sumber: Roh. Roh inilah yang menerangi jiwa, dan jiwa menghidupi tubuh. Tanpa relasi vertikal ini, relasi horizontal pun akan timpang. Maka doa dan keheningan menjadi ruang di mana komunikasi dengan Sang Sumber terjalin, bukan sekadar permintaan, melainkan penyelarasan.
Kesadaran bahwa manusia adalah jiwa berbadan membuat seseorang memahami rasa, keinginan, dan hasratnya secara bijaksana. Ia tahu kapan hasratnya berasal dari kedalaman jiwa, dan kapan berasal dari keinginan otak yang sekadar mencari kenikmatan sesaat. Dalam dunia yang sering mengukur segalanya dengan logika, orang seperti ini tetap bisa membedakan cinta sejati dari cinta semu.
Lebih jauh lagi, pandangan ini juga mengingatkan kita bahwa segala kerumitan hidup kerap bukan berasal dari kenyataan, melainkan dari pikiran kita sendiri yang terlalu rumit untuk menerima kesederhanaan Tuhan. Tuhan hadir bukan dalam konsep besar nan rumit, tetapi dalam kesederhanaan yang tulus, penuh kasih, dan setia. Ia tidak membeda-bedakan kasih-Nya kepada siapa pun; manusialah yang menyekat kasih itu dengan pikiran mereka sendiri.
Oleh karena itu, jika ingin hidup yang lebih jernih dan utuh, kita perlu kembali ke kesadaran dasar ini: manusia adalah jiwa yang memakai tubuh, bukan tubuh yang memiliki jiwa. Jiwa harus menjadi poros hidup. Ia yang menyambung manusia dengan Tuhan, memberi semangat, memberi arah, dan menciptakan kedamaian dalam relasi dengan sesama. Dengan memelihara jiwa, manusia sejatinya sedang memelihara hidup dalam wujudnya yang paling luhur.
Dan bila kehidupan dimulai dari kesadaran ini, maka segala yang kita jalani—pekerjaan, pendidikan, pernikahan, bahkan kegembiraan sederhana—menjadi pancaran dari relasi terdalam kita dengan Sang Hidup.