Melampaui Perang Melawan Penyakit: Menyatukan Barat dan Timur dalam Memahami Kesehatan
Oleh: dr. Maximus Mujur, SpOG
Di ruang praktik saya, pasien datang dengan dua beban: keluhan fisik dan kecemasan mental. Yang pertama bisa dicari penyebabnya melalui pemeriksaan medis, tetapi yang kedua—kecemasan akan kemungkinan terburuk, rasa takut terhadap penyakit yang belum tentu ada—justru sering kali lebih membebani dan menyiksa. Dari mana semua ini berasal?
Barat dan Paradigma “Musuh Dalam Selimut”
Pengobatan modern di dunia Barat dibangun di atas paradigma bahwa penyakit adalah musuh eksternal—penyusup atau intruder yang harus dilawan. Maka, sejarah medisnya pun sarat dengan istilah-istilah militeristik: antibiotik (senjata kimia), operasi (strategi penyerangan), amputasi (pengorbanan demi pertahanan), bahkan terapi radiasi dan kemoterapi yang digunakan seperti senjata pemusnah massal untuk menembak sel yang dianggap “berkhianat”.
Metafora perang ini bukan hanya ada dalam laboratorium atau ruang bedah, tetapi juga hidup dalam pikiran pasien. Ketika alat canggih mulai mampu membaca sesuatu yang bahkan belum menjadi penyakit, muncul istilah-istilah menggentarkan seperti “gejala kanker”, “sinyal metastasis”, atau “indikasi tumor dini”.
Di titik inilah teknologi tak hanya menjadi alat bantu, tetapi pencipta kecemasan. Seseorang yang tadinya sehat-sehat saja pulang dari rumah sakit dengan beban pikiran: “Jangan-jangan saya sedang sakit, hanya belum terasa.”
Diagnosis dini memang menyelamatkan dalam banyak kasus. Namun, ketika tubuh dibaca terlalu detil tanpa pemahaman konteks—tanpa mengenali bahwa tubuh juga punya irama, fluktuasi, dan keunikan—maka kita bisa terperangkap dalam spiral ketakutan. Seperti seorang tentara yang terlalu siaga, kita melihat ancaman di mana-mana, bahkan dari bayang-bayang tubuh sendiri.
Timur: Penyakit sebagai Ketidakharmonisan
Berbeda dengan itu, dalam filosofi medis Timur, penyakit dipahami sebagai ketidakharmonisan internal, bukan serangan eksternal. Bukan sesuatu yang datang dari luar, tetapi ketidakseimbangan yang tumbuh dari dalam diri sendiri—baik dalam tubuh, pikiran, maupun relasi dengan lingkungan.
Maka pengobatan pun tidak “memerangi”, tetapi menyelaraskan. Akupunktur, terapi air, ramuan herbal, meditasi, dan penyesuaian gaya hidup digunakan untuk membantu tubuh kembali ke keseimbangan alaminya. Fokusnya bukan hanya “menghilangkan” penyakit, tetapi mengundang kembali harmoni.
Tidak ada perang. Tidak ada musuh. Tidak ada amputasi kecuali benar-benar perlu. Penyembuhan dipandang sebagai proses kolaboratif antara pasien, tubuhnya, dan semesta.
Dalam sistem ini, dokter lebih mirip seorang pembimbing spiritual atau penyetel alat musik yang membantu seseorang mendengarkan kembali nadanya yang hilang. Bukan pejuang bersenjata yang datang dengan rencana serangan.
Menggabungkan Keduanya: Jalan Tengah yang Penuh Kasih
Saya percaya, dunia medis tak harus memilih. Kita tidak harus berpihak pada salah satu kutub. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan. Teknologi canggih dari Barat telah menyelamatkan banyak nyawa. Tetapi pendekatan Timur mengingatkan kita akan keutuhan manusia—bahwa kita bukan sekadar objek mekanis yang rusak dan diperbaiki, tetapi makhluk hidup yang bernapas, merasakan, dan terhubung dengan ritme alam.
Sudah saatnya kita keluar dari medan perang dan masuk ke ruang meditasi. Kita perlu menyatukan ketepatan diagnosa dengan kelembutan jiwa. Menyatukan analisis data dengan kepekaan rasa. Menyatukan pengetahuan dengan kasih.
Maka, mari kita mulai merawat kesehatan bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa syukur. Bukan dengan paranoia, tapi dengan perhatian penuh. Karena tubuh bukan medan tempur, melainkan rumah suci yang layak dihormati.