
Melayani Secara Holistik: Refleksi dari Sesi Pendampingan Imam di Ubud
Oleh dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Pada 3 Juli 2025 lalu, saya diundang oleh Pater Jeremias untuk hadir di Ubud, Gianyar, mengisi satu sesi retret bagi para imam yang sedang merayakan pesta perak—25 tahun tahbisan mereka. Undangan ini saya terima dengan penuh sukacita dan rasa hormat.
Bagi saya pribadi, para pastor di paroki adalah mitra strategis dalam pelayanan. Mereka menjadi konsultan utama umat—tempat orang-orang mencurahkan pergulatan hidup: masalah ekonomi keluarga, relasi suami-istri, sampai persoalan kehamilan. Saya merasa penting sekali mendukung mereka agar semakin siap mendampingi umat secara holistik, utuh, dan manusiawi.
Menggali Peran Pastoral yang Menyeluruh
Dalam sesi itu, saya mengajak para imam merenungkan kembali peran mereka. Saya bilang terus terang: sering ada anggapan sempit bahwa tugas imam hanya sebatas misa atau pengakuan dosa. Padahal umat datang dengan seluruh hidup mereka.
Kesehatan jasmani, kondisi mental, relasi suami-istri, kesiapan menjadi orang tua—semua saling berkaitan. Itu sebabnya saya menekankan bahwa pendampingan pastoral tidak bisa “sepotong-sepotong.” Kita mendampingi manusia seutuhnya, dalam seluruh realitas hidupnya.
Para imam, saya katakan, bukan hanya pewarta kabar gembira secara rohani. Mereka juga pendamping nyata dalam suka-duka umat—dari persiapan pernikahan hingga kehamilan, menjadi orang tua, dan membangun keluarga yang sehat.
Menjadi “Manajer” Bagi Diri Sendiri
Dalam sesi itu, saya juga menekankan satu hal penting: sebelum bisa mendampingi umat secara utuh, imam sendiri perlu menjadi “manajer” bagi dirinya.
Manajer untuk:
- Kesehatan fisik
- Kesehatan emosional dan spiritual
- Relasi dengan umat
Saya katakan apa adanya: kita tidak bisa menolong orang lain kalau diri kita sendiri berantakan. Kesiapan mendampingi umat menuntut kesiapan diri.
Saya mendorong para imam untuk merasa nyaman berdiskusi tentang hal-hal yang selama ini mungkin dianggap “sensitif,” seperti relasi suami-istri atau topik kehamilan. Itu bukan hal tabu—justru bagian nyata dari pelayanan pastoral. Kalau imam canggung, umat pun akan sungkan terbuka.
Yesus sebagai Teladan Holistik
Dalam refleksi, saya juga mengajak mereka meneladani Yesus.
Yesus tidak hanya mengajar tentang hukum, tetapi juga mencerdaskan hati manusia. Dia hadir sepenuhnya dalam keterbatasan fisik-Nya: jatuh, bangun, menghadapi godaan. Bahkan Yesus menunjukkan bagaimana menghadapi godaan tiga kali di padang gurun.
Saya bilang pada mereka:
“Saya Tuhan saja digoda. Apalagi kalian.”
Yesus mengajari kita berdoa, berpuasa, menguasai diri, dan menaklukkan godaan. Dia memberi teladan bagaimana menyentuh seluruh aspek manusia—fisik, batin, spiritual.
Prinsip Praktis: Tubuh sebagai Alat Baik
Saya juga membagikan prinsip praktis yang kerap saya gunakan dalam pelayanan kesehatan:
“Jangan sampai penyakit dan makanan menguasai kita. Tubuh kita adalah alat yang baik, persembahan kepada Tuhan.”
Kalau tubuh kita sakit, ekspresi sukacita yang Yesus tawarkan jadi sulit keluar. Kita jadi gampang marah, susah bersyukur.
Itulah sebabnya kita perlu memelihara kesehatan fisik, emosi, spiritual, dan relasi secara terintegrasi. Semua saling terhubung dan saling memengaruhi.
Suasana Diskusi yang Terbuka
Saya bersyukur sesi di Ubud itu berjalan dalam suasana dialogis dan rendah hati. Saya tegaskan sejak awal: saya tidak hadir untuk memamerkan keahlian atau merasa lebih tahu. Saya datang untuk berbagi pengalaman—agar para imam mendapat tambahan perspektif dalam mendampingi umat.
Saya juga mengingatkan: pelayanan umat adalah panggilan untuk mendengarkan dengan rendah hati, bukan menunjukkan kesombongan keilmuan. Pendampingan itu menuntut kebijaksanaan, pemahaman, dan hati yang terbuka.
Penutup Refleksi
Bagi saya pribadi, kesempatan berbagi di Ubud adalah cara mendukung para imam yang menjadi garda depan dalam mendampingi umat. Sebagai seorang dokter kandungan yang juga belajar komunikasi, saya merasa terpanggil untuk membantu mereka agar lebih siap mendampingi keluarga, calon orang tua, dan ibu hamil dengan pendekatan yang holistik.
Saya berharap refleksi ini menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa pelayanan apa pun bentuknya menuntut kesiapan diri yang utuh. Semoga sesi itu, dan tulisan ini, bisa menjadi berkat bagi siapa saja yang membacanya.

