• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Melihat Perbedaan Sebagai Berkat: Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin dalam Pendampingan Kehamilan

Melihat Perbedaan Sebagai Berkat: Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin dalam Pendampingan Kehamilan

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam sebuah penerbangan menuju Jakarta, saya dipertemukan kembali dengan seorang sahabat lama: Tuan D, seorang kapten pilot yang dulu pernah saya dampingi bersama istrinya, Nyonya M, melewati masa kehamilan dan persalinan anak-anak mereka.

Mereka adalah pasangan lintas iman. Tuan D seorang Muslim yang taat, Nyonya M seorang Katolik yang mendalam dalam iman. Ketika pertama kali saya mendampingi kehamilan mereka, saya tahu tantangan terbesarnya bukan hanya persoalan medis, tapi bagaimana membantu mereka melihat perbedaan itu bukan sebagai ancaman—melainkan sebagai berkat yang membentuk jiwa keluarga mereka, termasuk jiwa anak yang sedang tumbuh dalam kandungan.

Saya selalu mengatakan:

Kalian tidak jatuh cinta karena agama, tapi karena kasih itu sendiri. Dan anak yang sedang tumbuh di rahim perlu merasakan kasih yang utuh—kasih yang menerima perbedaan tanpa syarat.

Sering orang memahami kehamilan hanya dari segi fisik: nutrisi, pemeriksaan USG, persiapan persalinan. Semua itu penting. Tapi dalam pengalaman saya mendampingi ribuan ibu, saya belajar bahwa janin bukan sekadar tubuh yang sedang dibentuk. Dia adalah jiwa yang sedang berkomunikasi, belajar, dan merasakan dunia pertamanya—dunia ibunya.

Komunikasi jiwa ibu dan janin itu nyata.
Ketika ibu merasa dicintai dan dihargai apa adanya, janin pun merasakan ketenangan itu. Sebaliknya, jika ibu menanggung konflik batin, penolakan, atau rasa takut terhadap perbedaan, janin pun menangkap getaran itu.

Karena itu sejak awal saya mengajak Tuan D dan Nyonya M untuk jujur pada perbedaan mereka, tapi juga saling mendukung. Saya mendorong mereka berbicara pada anak dalam kandungan dengan cara yang otentik:

  • Ayah mengajak bayi shalat bersama, dengan niat tulus.
  • Ibu mendukung dan mendoakan dengan cinta yang sama.
  • Sebaliknya, pada hari Minggu, ibu mengajaknya ke gereja, dan ayah yang mengantar penuh hormat.

Mereka bertanya, “Dok, bukankah itu membingungkan anak?”
Saya jawab:

Justru itu cara kalian mengajarkan anak untuk melihat dunia yang luas, tanpa rasa takut pada perbedaan. Anak belajar sejak dalam kandungan bahwa kasih tidak membagi-bagi.

Saya percaya janin mendengar bukan hanya lewat telinga yang sedang berkembang, tapi lewat getaran hati ibunya. Janin merasakan bukan hanya gerakan rahim yang melindungi, tapi juga emosi ibunya yang menerimanya tanpa syarat.

Pendampingan kehamilan, bagi saya, adalah menolong orangtua menyadari itu. Agar mereka tidak hanya menyiapkan tubuh bayi untuk lahir sehat, tapi juga menyiapkan jiwanya untuk merasakan cinta yang utuh.

Saya ingat betul momen persalinan. Tuan D saya ajak masuk ruang operasi. Itu bukan soal prosedur medis semata. Itu adalah undangan untuk menemani istrinya secara utuh, untuk menunjukkan pada anak mereka—yang akan segera lahir—bahwa cinta sejati hadir dalam keberanian saling mendampingi, bahkan pada saat sulit.

Dan ketika kemarin, di pesawat itu, Tuan D menghampiri saya dengan hangat, mengajak saya ke kokpit setelah mendarat—dia mengingatkan saya pada kata-kata saya dulu:

“Anak kita perlu melihat kita saling mendampingi.”
Dia bilang: “Sekarang saya tunjukkan tempat kerja saya, Dok. Dulu dokter ajak saya ke ruang operasi.”

Itu bukan sekadar nostalgia. Itu adalah bukti bahwa komunikasi antar jiwa—bukan hanya antar tubuh—meninggalkan jejak mendalam.

Kini anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang terbuka, penuh rasa hormat pada sesama, tak takut pada perbedaan. Saya percaya, itu bukan kebetulan. Itu berkat proses panjang sejak dalam kandungan, di mana mereka diajak merasakan cinta yang inklusif.

Sebagai dokter, saya bersyukur boleh mendampingi perjalanan seperti ini. Saya ingin cerita ini menjadi pengingat bagi semua orangtua:

  • Bahwa kehamilan bukan hanya proses biologis, tapi juga spiritual.
  • Bahwa janin belajar bahkan sebelum lahir.
  • Bahwa komunikasi jiwa ibu dan janin adalah ruang penting untuk menanamkan nilai kasih, penerimaan, dan penghormatan pada perbedaan.

Karena pada akhirnya, tugas kita bukan hanya melahirkan anak yang sehat secara fisik, tapi menyiapkan manusia yang utuh—yang tahu bagaimana mencintai tanpa syarat, bahkan (atau terutama) dalam perbedaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *