Memaknai Kenikmatan: Jalan Menuju Maximum Bonum dalam Hidup
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Hidup adalah perjalanan yang pasti berakhir. Tak ada rumah sakit, obat, atau teknologi secanggih apa pun yang mampu menunda kematian. Kesadaran ini seharusnya tidak membuat manusia putus asa, melainkan mengajarkan bahwa hidup yang singkat ini harus dijalani dengan penuh makna. Namun, persoalan terbesar justru terletak pada bagaimana manusia memaknai kenikmatan itu sendiri.
Kenikmatan yang Dimanipulasi
Banyak orang memahami kenikmatan hanya sebatas pada apa yang memanjakan lidah dan indra sesaat. Makanan yang dibubuhi penyedap rasa, bumbu berlebih, atau rekayasa rasa dianggap lebih nikmat daripada yang alami. Padahal, kenikmatan yang demikian bukan hanya menipu lidah, melainkan juga menipu tubuh. Tubuh yang sebenarnya memiliki bahasa dan kepekaan sendiri terhadap kebutuhan sering kali dipaksa tunduk pada manipulasi rasa. Akibatnya, kenikmatan semu itu justru menjadi jalan menuju penderitaan.
Kenikmatan yang Dimaknai dengan Benar
Sebaliknya, ada pula orang yang melihat kesehatan sebagai bentuk kenikmatan tertinggi. Mereka tidak asal mengonsumsi makanan, melainkan peka terhadap sinyal tubuh: kapan ia lelah, kapan ia lapar, kapan ia menolak sesuatu. Mereka tidak melawan tubuh dengan obat atau rekayasa, melainkan bersahabat dengan ritme alami kehidupan. Inilah bentuk kenikmatan yang sejati—nikmat yang tidak sekadar di lidah, tetapi juga di jiwa.
Dari Minus Malum Menuju Maximum Bonum
Sering kali, seseorang mulai mencari jalan baru setelah mengalami kebuntuan. Ketika dunia medis tidak lagi menjanjikan kesembuhan, banyak yang mencari alternatif yang lebih sederhana, alami, dan bermakna. Pilihan awal ini bisa jadi lahir dari keterpaksaan—suatu “minus malum”—tetapi perjalanan berikutnya justru membuka jalan pada kebaikan yang lebih besar, yaitu “maximum bonum.”
Maximum bonum bukan hanya soal kesehatan tubuh, melainkan juga keseimbangan jiwa. Ketika tubuh dan jiwa selaras, kenikmatan hidup tidak lagi dicari melalui manipulasi eksternal, melainkan tumbuh dari ketaatan pada hukum-hukum sederhana yang dikehendaki Sang Pencipta. Jalan ini memang tidak selalu populer. Banyak yang meremehkan dengan berkata: “Toh pada akhirnya mati juga.” Tetapi yang sering dilupakan adalah perbedaan antara mati dengan biaya, penderitaan, dan ketidaknyamanan panjang; atau mati dengan jiwa yang tetap damai dan tubuh yang dijaga dengan penuh hormat sepanjang hidup.
Kesederhanaan yang Membebaskan
Hidup sederhana sesungguhnya tidak berarti miskin nikmat. Justru dalam kesederhanaan, manusia lebih mudah menemukan rasa syukur, keheningan batin, dan kedekatan dengan Sang Pemberi Hidup. Kesederhanaan itulah yang menjadikan hidup minim beban, ringan dijalani, dan kaya makna.
Menjalani Hidup Seutuhnya
Pada akhirnya, memaknai kenikmatan berarti belajar untuk tidak menipu diri sendiri. Apa pun yang tampak nikmat di permukaan, tetapi merusak tubuh dan jiwa, sejatinya bukanlah kenikmatan. Hidup hanya sekali, dan karena itu harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Jalan menuju maximum bonum bukanlah jalan yang rumit: cukup mendengarkan tubuh, setia pada kesederhanaan, dan mengarahkan hati pada kehendak Ilahi.
Dengan cara itu, kita tidak hanya menikmati hidup, tetapi juga memaknai hidup. Dan dalam pemaknaan itulah kenikmatan sejati ditemukan.