• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Membangun Hidup di Atas Fondasi Kasih

Membangun Hidup di Atas Fondasi Kasih

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Dalam kehidupan yang terus berubah, manusia sering kali menata langkahnya berdasarkan ukuran dunia — kekuasaan, sains, harta, dan kebanggaan diri. Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada panggilan lembut untuk kembali pada fondasi sejati: kasih. Kasih bukan sekadar emosi, tetapi dasar yang menumbuhkan kehidupan, mengalirkan rahmat, dan menuntun manusia memahami makna keberadaannya.

Seperti air yang mengalir dari sumber murni menuju laut asin, rahmat kasih mampu menghidupkan kembali yang kering dan memberi warna pada yang layu. Hidup yang dibangun di atas kasih selalu bergerak, memberi, dan memulihkan. Sebaliknya, hidup yang didirikan di atas kesombongan dan kerakusan lambat laun akan roboh—seperti rumah yang dibangun tidak sesuai dengan fondasinya.

Hidup bukanlah transaksi kekuasaan atau kepentingan pribadi, melainkan transaksi kasih. Ketika manusia menukar kasih dengan kerakusan, dunia menjadi penuh dengan kebanggaan palsu: pesta besar untuk menunjukkan kemakmuran, konsumsi berlebihan untuk menutupi kehampaan, dan kesombongan dalam ilmu yang tidak lagi menumbuhkan kebijaksanaan. Di situlah manusia kehilangan rahmatnya—karena rahmat hanya mengalir pada hidup yang selaras dengan kasih.

Kasih sejati juga menuntut kerendahan hati untuk dirombak. Dalam perjalanan rohani, setiap orang dipanggil untuk membiarkan dirinya “dibentuk ulang”—bukan oleh kekuatan luar, tetapi oleh cinta yang memperbarui dari dalam. Proses itu menyakitkan, kadang disertai kehilangan dan ejekan, namun justru di sanalah lahir kebijaksanaan baru. Yang dahulu membanggakan diri karena ilmu atau status, kini belajar mendengar, mengasihi, dan memahami orang lain tanpa menghakimi.

Fondasi kasih bukan hanya untuk manusia, melainkan juga untuk seluruh ciptaan. Saat seseorang hidup dalam kasih, ia menjadi sahabat alam—tidak lagi mengeksploitasi bumi secara rakus, melainkan menghargai makanan dan sumber daya secukupnya. Ia melihat bahwa kehidupan yang seimbang lahir dari penghargaan terhadap yang sederhana dan lokal, bukan dari ambisi untuk menaklukkan.

Sikap mendengar juga menjadi bentuk tertinggi dari kasih. Mendengar dengan hati membuka ruang bagi orang lain untuk sembuh, diterima, dan menemukan dirinya kembali. Saat seseorang benar-benar mendengarkan, ia sedang membiarkan rahmat mengalir melalui dirinya. Di titik itu, kasih menjadi nyata: tidak dalam kata-kata, melainkan dalam kehadiran.

Pada akhirnya, hidup yang dibangun di atas fondasi kasih akan kokoh, meskipun diterpa badai zaman. Ia tidak mencari kehebatan semu, melainkan ketulusan yang abadi. Karena kasih adalah fondasi yang tidak akan pernah runtuh — dasar kehidupan yang membuat manusia benar-benar hidup, bukan sekadar ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *