
Mendengar Suara yang Sunyi: Komunikasi Jiwa Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam senyap rahim yang hangat, terdapat percakapan tak bersuara antara jiwa ibu dan jiwa janin. Bukan dialog biasa yang ditangkap telinga, tetapi bisikan halus yang menuntun ibu memahami apa yang baik untuk kehidupan yang sedang ia bawa.
Komunikasi itu muncul dalam bentuk-bentuk yang kadang membingungkan—selera makan yang berubah, mual yang menolak jenis makanan tertentu, kepekaan emosional yang meningkat, atau bahkan rasa gelisah tanpa sebab yang jelas. Banyak orang menganggap ini semata gejala fisik, padahal di sanalah terdapat bahasa jiwa.
Seorang ibu belajar mendengarkan. Mendengarkan bukan hanya kata-kata, tetapi getar batin, intuisi, dan rasa yang muncul tiba-tiba: keinginan menghindari makanan tertentu, memilih yang lebih segar atau bersih, menghindari yang membuat panas atau perih di perut. Kadang, tubuh seolah menolak keras sesuatu, dan ibu mulai memahami: ini bukan sekadar soal selera, melainkan kebutuhan janin yang menyampaikan pesan.
Dalam percakapan jiwa ini, makanan menjadi salah satu saluran komunikasi penting. Makanan bukan hanya tentang rasa enak, tetapi tentang keselamatan dan kesehatan. Ada yang perlu dihindari bukan karena aturan kaku, tapi karena tubuh memberi tanda: pedas yang terlalu menyengat, lemak berlebihan, atau bahan kimia dalam makanan cepat saji yang memancing reaksi. Bagi sebagian orang, makanan menjadi persoalan mendalam—soal kendali diri, kesadaran diri, bahkan soal relasi sosial.
Seringkali, dalam kehamilan, seorang ibu diuji untuk lebih bijak. Ia tidak lagi hanya makan untuk diri sendiri, tapi untuk dua jiwa. Di sini, ia belajar makna kasih yang dalam: menerima batas, menahan keinginan, memilih yang terbaik. Dalam setiap suap, tersimpan niat dan doa—semoga yang tumbuh di dalam rahim menjadi manusia yang sehat, kuat, dan baik.
Namun komunikasi jiwa bukan cuma tentang makan. Ia juga terjadi dalam doa. Bukan doa yang dipaksa, melainkan doa yang jujur: permohonan, kegelisahan, kelegaan. Ketika berdoa, seorang ibu terkadang menangis tanpa sebab jelas—tangis yang mungkin adalah bentuk pembasuhan luka, pembersihan batin, penyatuan dengan suara Ilahi. Dalam keheningan doa, ibu mendengar petunjuk: untuk bersabar, untuk bersyukur, untuk belajar memperbaiki diri.
Tuhan, dalam cara-Nya yang lembut, sering tidak memberi jawaban yang kita minta, tetapi yang kita butuhkan. Seorang ibu yang berdoa agar anaknya kuat, mungkin dipandu untuk menjaga pola makannya. Yang berdoa agar anaknya selamat, mungkin dipanggil untuk menghindari stres, untuk memperbaiki relasi, untuk menjaga keseimbangan. Jawaban itu tidak selalu berupa kata-kata, melainkan jalan yang terbuka perlahan.
Kadang ibu mendapati dirinya bergulat dengan emosi yang naik turun. Marah tanpa sebab, sedih tiba-tiba, mudah tersinggung. Di sini pun janin berbicara. Ia menggunakan rasa ibunya untuk menuntun ibu menjadi lebih peka, lebih sabar. Janin membuat ibunya belajar mendamaikan yang kacau di dalam diri. Ia memaksa ibunya mengenali luka-luka lama, agar tidak diwariskan.
Dan dalam kesadaran yang lebih luas, kehamilan memanggil kita untuk memikirkan bukan hanya kesehatan fisik, tetapi kesehatan batin. Karena janin merasakan bukan hanya nutrisi, tetapi juga emosi. Ia merasakan ketakutan, cinta, amarah, dan kedamaian yang mengalir dari ibunya. Apa yang tak diselesaikan oleh ibu, kadang menjadi beban bagi anak. Maka komunikasi jiwa adalah juga ajakan untuk menyembuhkan.
Pada akhirnya, kehamilan bukan hanya proses biologis, tetapi sebuah perjalanan spiritual. Ibu dan janin saling mendidik. Janin mengajarkan ibunya menjadi lebih manusiawi: lebih bijak, lebih sabar, lebih penuh kasih. Ibu menjadi perantara antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat. Dan dalam ruang rahim yang gelap dan hangat, ada sebuah suara yang terus berbisik:
“Aku di sini. Dengarkan aku. Kita belajar bersama.”
Dan seorang ibu, dengan segala keterbatasannya, menjawab dengan lembut:
“Aku mendengar. Aku akan menjagamu.”

