• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Menerima Bayangan: Saat Janin Membantu Ibu Menyembuhkan Luka Lama

Menerima Bayangan: Saat Janin Membantu Ibu Menyembuhkan Luka Lama

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Kehamilan sering dipahami sebagai proses pertumbuhan fisik. Tapi bagi sebagian ibu, itu adalah zaman keheningan yang membuka lembaran batin terdalam. Di dalam keheningan itu, bukan hanya janin yang tumbuh. Cahaya dan bayangan batin pun ikut bergerak.

Dalam proses ini, banyak ibu menyadari sesuatu yang tidak mereka duga: janin hadir tidak hanya sebagai kehidupan baru, tetapi sebagai cermin jiwa. Ia memantulkan hal-hal yang belum selesai dalam diri sang ibu—rasa bersalah, luka masa lalu, bayang-bayang gelap yang disimpan terlalu lama.

Dan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Justru itulah undangan terdalam kehamilan: menerima semua bayangan dengan besar hati.


Bayangan Itu Tidak Hilang Karena Disembunyikan

Ada ibu yang merasa gelisah, tanpa tahu sebab. Ada yang mudah tersinggung, atau terlalu cemas tentang masa depan bayinya. Tapi ketika ditelusuri dalam ruang dialog batin, kita temukan akar-akar luka: kenangan ditolak, pernah dihina, pernah menyakiti orang, atau tak sempat memaafkan diri sendiri.

Bayangan itu hidup. Bukan untuk menghantui, tetapi untuk disadari. Apa yang tidak disadari akan mengontrol dari dalam. Dan apa yang kita tolak dalam diri, justru menjadi cermin yang menyakitkan dalam orang lain—pasangan, mertua, bahkan janin sendiri.

Menerima bayangan adalah awal pembebasan. Karena hanya dengan menerangi bayangan, kita bisa membentuk relasi batin yang sehat dengan anak yang akan lahir. Ia tidak tumbuh dalam ketakutan yang diwariskan, tapi dalam keberanian yang diwariskan.


Luka adalah Pintu Cahaya

Seorang bijak pernah berkata, “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Begitu pula dalam kehamilan: ada banyak luka lama yang terbuka, bukan untuk menyiksa, tetapi untuk disembuhkan.

Dalam proses menyadari bayangan, kita juga diundang untuk menyentuh akar luka itu. Bukan sekadar marah kepada masa lalu, tetapi berani bertanya:

  • “Apa yang membuatku masih memendam ini?”
  • “Mengapa aku takut memberi cinta secara utuh?”
  • “Apa ketakutan batinku tentang menjadi ibu?”

Ketika pertanyaan-pertanyaan ini dihadapi dengan keheningan, perlahan kita melihat bukan hanya luka, tapi juga sumbernya. Dan dari sumber itu, kita belajar berbelas kasih: kepada diri sendiri, kepada orang yang dulu menyakiti, dan kepada kehidupan itu sendiri.


Belajar dari Kesalahan dengan Jiwa yang Lembut

Setiap orang punya momen menyakitkan, bahkan pernah menyakiti. Tapi ibu yang sedang mengandung ditantang untuk tidak berhenti di rasa bersalah. Ia diajak untuk memaafkan, belajar, dan menciptakan ruang baru dalam dirinya.

Kehamilan adalah waktu yang sangat kuat untuk “pemrograman batin” ulang. Karena di saat itulah jiwa ibu sedang terbuka, dan janin sedang menyerap bukan hanya nutrisi tubuh, tapi getaran jiwanya.

Apa yang tersimpan akan terpancar. Maka, semakin banyak ruang pemaafan dan kejujuran dibuka, semakin sehat pula relasi batin antara ibu dan janin.


Menghentikan Pencarian di Tempat yang Salah

Ada cerita tentang orang mabuk yang kehilangan kunci di lorong gelap, tapi mencarinya di bawah lampu karena “lebih terang di sini.”
Begitu juga kita. Kadang kita mencoba menyelesaikan luka batin dengan menyalahkan orang lain, menuntut lebih dari pasangan, atau mengatur segala hal secara lahiriah—padahal kunci sesungguhnya jatuh di dalam batin kita.

Jika kita mau masuk ke ruang itu—yang sepi, yang dalam—kita akan menemukan bukan hanya kunci yang hilang, tapi kemerdekaan diri.


Keheningan: Waktu Emas untuk Mendengar Jiwa

Di tengah hiruk-pikuk dunia luar, kehamilan menghadirkan satu anugerah: alasan yang sah untuk memperlambat, menyepi, dan mendengar. Dalam keheningan itu, janin menyampaikan banyak hal:

  • Tentang apa yang ia rasakan dari ibunya,
  • Tentang ketakutan dan harapan ibunya,
  • Dan tentang cinta yang ingin tumbuh lebih dalam.

Maka, hening bukanlah kekosongan. Ia adalah ruang suci, tempat jiwa ibu dan jiwa anak saling mendengar. Di sanalah pengampunan dipelajari. Di sanalah cinta menjadi energi penyembuh. Di sanalah luka menjadi cahaya.


Bayangan adalah Bagian dari Cinta

Kita tidak menjadi ibu yang utuh karena sempurna. Kita menjadi utuh karena berani melihat dan merangkul bayangan kita sendiri. Karena saat seorang ibu bisa memaafkan dirinya sendiri, ia juga mengajarkan anaknya bahwa hidup tidak harus selalu terang—yang penting, kita tetap berjalan dengan cinta.

Dan itu cukup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *