
Menggali Kembali Makna Jiwa, Tubuh, dan Roh dalam Kehidupan Sehari-hari
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam kehidupan modern, kita sering terjebak dalam cara pandang yang memisah-misahkan. Tubuh dipuja secara berlebihan, sementara jiwa dan roh diabaikan atau didefinisikan secara sempit. Padahal, manusia adalah satu kesatuan utuh: jiwa dan badan yang tidak bisa dipisahkan, digerakkan dan diilhami oleh roh.
Penting untuk memahami bahwa manusia bukan hanya “badan yang memiliki jiwa” atau “jiwa yang menumpang di badan”, tetapi satu kesatuan kodrati. Jiwa tidak bisa mengekspresikan dirinya tanpa badan, dan badan menjadi hidup karena jiwa. Sementara itu, roh—kasih yang bersumber dari Tuhan—adalah sinyal dan inspirasi yang menuntun kesatuan jiwa dan badan untuk berjalan dalam kasih sejati.
Paradigma Dualisme yang Membelenggu
Cara berpikir dualistik yang kaku telah mengakar sejak ribuan tahun lalu. Kita terbiasa memisahkan tubuh dan jiwa, bahkan menempatkan pikiran di atas segalanya. Padahal, pikiran hanyalah bagian dari mekanisme tubuh, dan seharusnya tunduk pada jiwa yang menggerakkan keseluruhan diri.
Inilah sumber banyak masalah. Budaya dan peradaban yang kita bangun hari ini sering kali tidak digerakkan oleh jiwa. Akibatnya, kualitas hidup manusia bukan hanya gagal meningkat, tetapi bahkan merosot. Bukannya makin sejahtera dan damai, manusia justru semakin diliputi kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran. Jiwa yang mestinya memimpin tubuh menjadi tertutupi oleh kerak-kerak kepentingan pikiran yang haus kuasa, ingin dipuji, ingin hidup lama, dan ingin mendominasi.
Tubuh dan Jiwa sebagai Kesatuan yang Digerakkan Roh
Kalau kita kembali ke hakikat manusia, tubuh dan jiwa harus menjadi satu dalam kasih. Roh, sebagai kasih dari Tuhan, menuntun kesatuan itu. Roh bukanlah jiwa, dan tidak bisa disamakan begitu saja. Roh adalah inspirasi ilahi yang menyalakan kasih sejati, supaya jiwa dan tubuh bekerja selaras dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini menuntut kita untuk merawat bukan hanya fisik tetapi juga emosi, pikiran, dan spiritualitas.
Kita tidak bisa menafikan bahwa manusia memang unik: punya jiwa dan pikiran, berbeda dari hewan dan tumbuhan. Namun, kemampuan berpikir itu seharusnya bukan untuk menaklukkan atau mengendalikan demi kepentingan sempit, melainkan untuk merawat, mengembangkan, dan menciptakan peradaban yang selaras dengan jiwa.
Merawat Tubuh dan Jiwa: Kesadaran dan Kesabaran
Perubahan cara pandang ini tidak mudah. Seperti proyek besar, kita ingin cepat selesai, tapi kenyataannya butuh waktu dan kesabaran. Karena yang kita kerjakan bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi penyatuan kembali diri kita yang sudah “tercerai-berai”. Kita mencoba memungut kembali remah-remah diri kita yang hilang, menyusunnya perlahan hingga kembali utuh.
Ini juga menuntut kita menjaga kesehatan fisik, pola makan, dan emosi. Racun tubuh dan racun jiwa sama-sama perlu diatasi. Doa dan perenungan menjadi penting agar kita tetap terhubung pada roh kasih Tuhan. Karena manusia bukan hanya energi fisik, tetapi juga energi spiritual yang menyatu dalam kasih.
Mengalami Kesucian dalam Hidup Nyata
Kesucian bukan konsep abstrak. Itu dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam usaha memperbaiki diri, menyelesaikan persoalan hidup, kita sebenarnya sedang menjalani proses penyucian. Pengalaman spiritual yang sejati bukan hanya gagasan, tetapi sungguh-sungguh dihayati, dirasakan, dan dijalani secara total.
Cinta pun demikian. Ia bukan semata wilayah pikiran atau kenikmatan fisik, tapi keterlibatan total jiwa dan tubuh yang digerakkan oleh kasih. Bukan sekadar nafsu yang mekanistik, tapi ekspresi cinta yang total, menghadirkan kehidupan baru dengan kesadaran utuh.
Pendidikan Jiwa Sejak dalam Kandungan
Gagasan ini juga mengarah pada kesadaran lebih besar tentang perawatan kehamilan. Pendidikan tidak bisa dimulai setelah anak lahir, apalagi baru saat ia bersekolah. Pendidikan sejati harus mulai sejak kehamilan, ketika jiwa anak sudah mulai mengalami. Ini menuntut ayah dan ibu memperkenalkan diri mereka sebagai orang tua, mendengarkan anak bahkan sebelum ia lahir, menanamkan rasa aman dan kasih sejak dalam kandungan.
Dengan demikian, anak tidak perlu belajar mengenali siapa dirinya secara terpisah di kemudian hari. Ia akan tumbuh dengan pengenalan diri yang utuh, sesuai kodrat penciptaannya. Karena ilmu pengetahuan bukan sumber keberadaan manusia—melainkan lahir dari manusia. Maka, ilmu harus tunduk pada kemanusiaan yang utuh.
Penutup
Semua ini menuntut kita meninjau ulang cara hidup kita. Apakah kita benar-benar merawat tubuh, jiwa, dan roh secara utuh? Apakah kita memberi ruang bagi kasih Tuhan untuk menuntun hidup kita? Apakah kita bersedia berjalan perlahan, sabar, memungut serpihan diri kita yang tercecer untuk kembali utuh? Itulah tugas besar yang menunggu kita semua. Sebuah revolusi sunyi yang mulai dari kesadaran pribadi, tapi berdampak bagi peradaban.

