
Mengosongkan Diri untuk Menemukan Jiwa
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Hidup pada dasarnya adalah anugerah. Ia bukan hasil usaha manusia, bukan sesuatu yang perlu dicapai, melainkan sesuatu yang sudah diberikan — the given. Dari kehidupan itu mengalir anugerah lain: kesehatan, cinta, dan sukacita. Semuanya hadir bukan karena kita bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi karena kita mau membuka diri untuk menerimanya. Sayangnya, manusia modern sering melupakan hakikat ini. Kita menggantikan rasa syukur dengan ambisi, mengganti keheningan dengan analisis, mengganti hati dengan pikiran.
Manusia hidup dalam dunia yang sangat rasional. Segala hal harus bisa dijelaskan, dihitung, dan diukur. Pikiran dijadikan penguasa atas tubuh, emosi, dan intuisi. Kita mengira semakin banyak berpikir, semakin dekat kita dengan kebenaran. Padahal, justru di sanalah kita sering kehilangan arah. Pikiran, bila dibiarkan memimpin tanpa bimbingan jiwa, akan menjerumuskan manusia ke dalam kegelisahan tanpa ujung. Ia menciptakan kecemasan sebelum ancaman datang, ketakutan sebelum kehilangan terjadi, dan rasa lapar meski tubuh tak membutuhkan apa pun.
Hewan tidak pernah cemas sebelum diserang, tidak pernah khawatir tentang masa depan. Mereka hidup sepenuhnya pada saat ini, mengikuti intuisi yang tertanam dalam diri mereka. Di situ letak kebijaksanaan alami: kepekaan terhadap kehidupan yang mengalir. Namun manusia telah menjauh dari kebijaksanaan itu. Kita membunuh intuisi kita sendiri dan membiarkan pikiran menjadi penguasa tunggal. Akibatnya, seluruh indra kita — penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan sentuhan — kini bekerja bukan untuk melayani jiwa, melainkan untuk memuaskan pikiran.
Di sinilah kita perlu belajar mengosongkan diri — menjalani kenosis. Mengosongkan diri bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan menanggalkan ego yang menutupi cahaya jiwa. Dalam pengosongan itu, kita tidak sedang menolak diri, tetapi memberi ruang bagi kasih untuk bekerja. Seperti Yesus yang “mengosongkan diri-Nya” untuk menjadi manusia, kenosis mengajarkan kita untuk tidak melekat pada peran, jabatan, atau kenyamanan duniawi. Seorang dokter yang memilih meninggalkan keuntungan demi menolong sesama sedang menjalani kenosis dalam bentuk nyata. Ia mengingkari dirinya bukan karena kalah, tetapi karena mencintai dengan sepenuh hati.
Kenosis menuntun manusia untuk hidup bukan dari pikiran, tetapi dari jiwa. Pikiran tetap penting, tetapi bukan untuk menguasai; ia hadir untuk melayani. Tugas pikiran bukan menganalisis hidup, melainkan menjelaskan keindahan jiwa. Ketika pikiran tunduk pada jiwa, seluruh aspek diri — tubuh, perasaan, intuisi — bergerak dalam keselarasan. Manusia menjadi sadar, tahu, dan mau hidup dengan penuh kasih, syukur, dan kesadaran.
Hidup yang demikian tidak lagi sibuk membangun, menata, atau mengubah segalanya. Ia justru belajar menerima, merawat, dan menjaga. Hidup menjadi pengalaman sederhana namun mendalam: makan dengan kesadaran, berbicara dengan hati, mendengar dengan empati. Dalam kesederhanaan itu, manusia kembali pada keutuhannya sebagai ciptaan — sebagaimana ia pertama kali diciptakan: utuh, alami, dan penuh kasih.
Ketika manusia mampu mengosongkan diri dari pikiran yang menguasai, ia tidak kehilangan apa-apa. Justru di sanalah ia menemukan segalanya. Ia menemukan jiwa — pusat kehidupan tempat kasih, syukur, dan ketenangan tumbuh.
Maka sesungguhnya, kenosis bukan sekadar ajaran spiritual. Ia adalah jalan kembali ke rumah asal kita: ke dalam diri yang hening, penuh cinta, dan sadar akan kehadiran Tuhan dalam setiap tarikan napas.

