
MENJADI KELUARGA YANG HADIR: MERAWAT JIWA DI TENGAH GELOMBANG DIGITAL
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
1. Teknologi Mempermudah, Tapi Jiwa Menuntun
Di tengah gempuran kecanggihan zaman, rumah tangga berubah cepat. Kalender keluarga kini tersinkron otomatis, tugas-tugas rumah dibantu perangkat pintar, dan anak-anak bahkan belajar dari layar. Namun satu pertanyaan mengusik dari balik kecepatan ini: apakah jiwa kita ikut tumbuh, atau justru tertinggal di antara notifikasi?
Teknologi menghadirkan kemudahan, tapi bukan kedalaman. Ia mempercepat pertemuan, tapi tidak menjamin kehadiran. Justru di zaman inilah, jiwa keluarga perlu lebih sadar dihidupi: melalui pelukan, keheningan, percakapan yang tidak terburu-buru, dan kesediaan mendengarkan tanpa terganggu.
2. Kehamilan: Bahasa Jiwa Sebelum Kata-Kata
Kehamilan bukan sekadar menunggu kelahiran, tapi awal komunikasi terdalam antara dua jiwa: ibu dan anak. Bukan dengan suara, tapi lewat rasa. Setiap detak jantung janin merespons ketenangan ibu. Setiap belaian perut adalah sapaan kasih. Bahkan suasana hati ibu adalah medan energi yang memengaruhi keteduhan jiwa anak.
Dalam kehamilan, cinta bukan sekadar nutrisi, melainkan kehadiran batin yang utuh. Maka kehadiran seorang ayah yang penuh kasih tidak hanya menenangkan ibu, tapi juga menciptakan suasana aman bagi jiwa anak. Inilah spiritualitas kehamilan: menghadirkan kehidupan bukan hanya secara biologis, tapi juga secara batin.
3. Rumah: Rahim Kedua yang Menumbuhkan Jiwa
Setelah anak lahir, rumah menjadi rahim kedua. Ia tak lagi membentuk tubuh, tapi menata batin. Di sinilah suara cinta, keheningan yang mendengar, dan pelukan yang menguatkan menjadi makanan harian bagi jiwa.
Namun, ketika rumah dipenuhi layar menyala dan percakapan terganti pesan singkat, jiwa bisa merasa sendiri meski tidak sedang sendiri. Kita butuh kembali pada dasar: menyapa pasangan dengan mata, menunggu anak selesai bicara, membiasakan doa malam bersama.
Rumah yang menenangkan bukan rumah yang mewah, tapi rumah yang penuh kasih yang terasa.
4. Jiwa Tidak Bisa Diotomatisasi
Teknologi bisa mengatur jadwal imunisasi anak, mengingatkan makan siang, bahkan membantu menyusun menu bergizi. Tapi jiwa tidak bisa dijangkau oleh algoritma. Jiwa tidak bisa disembuhkan dengan data. Jiwa membutuhkan sentuhan manusiawi: perhatian yang hangat, waktu yang sungguh hadir, dan cinta yang sabar.
Dalam keluarga, ini berarti kehadiran kita lebih penting daripada fungsionalitas kita. Anak tidak hanya butuh dibelikan mainan, tapi juga ditemani bermain. Pasangan tidak hanya butuh diberi informasi, tapi juga didekati dengan kasih dan rasa hormat.
5. Spiritualitas Digital: Hidupkan Iman dalam Realitas Zaman
Kehidupan keluarga modern tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Namun justru di sinilah tantangannya: menghidupkan spiritualitas dalam keseharian digital. Bukan berarti meninggalkan teknologi, tapi menghadirkan iman di dalamnya.
Doa malam bisa sederhana, cukup satu kalimat: “Tuhan, jagalah cinta kami malam ini.” Menyambut pagi bisa dimulai dengan pelukan, bukan dengan membuka ponsel. Bahkan makan malam bisa menjadi “liturgi kecil” jika dihidupi dengan syukur dan cerita jujur.
Spiritualitas keluarga bukan tentang ritual megah, melainkan tentang kasih yang hidup dalam hal-hal kecil yang dilakukan terus-menerus dengan kesadaran dan cinta.
Penutup: Di Tengah Gelombang Dunia, Jadilah Rumah Bagi Jiwa
Zaman akan terus berubah. Teknologi akan semakin menyentuh sisi-sisi terdalam kehidupan. Tapi manusia tetap manusia: makhluk spiritual yang membutuhkan makna, cinta, dan kehadiran.
Mari kita bangun rumah-rumah yang tidak hanya terkoneksi dengan jaringan, tetapi juga terhubung dengan hati. Rumah yang menjadi tempat pulang jiwa. Rumah yang menghidupi cinta dengan sabar. Rumah yang menyembuhkan luka dengan doa. Rumah yang melahirkan generasi bukan hanya cerdas digital, tapi juga bijak secara batin dan kuat secara kasih.
Dan semua itu, dimulai hari ini, dengan satu tindakan kecil: memilih hadir sepenuhnya.