Menjadi Saksi Jiwa yang Datang: Peran Tenaga Medis dalam Menemani Kehamilan sebagai Ruang Komunikasi Batin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah dunia medis yang terus bergerak menuju presisi, kecepatan, dan efisiensi, kita sebagai tenaga medis dituntut untuk selalu mengukur, mengklasifikasi, dan menindak. Namun dalam praktik saya meneliti komunikasi jiwa antara ibu dan janin, saya menyadari satu hal yang sangat krusial tapi sering kali terabaikan: kehamilan bukan sekadar tentang tubuh yang bertumbuh, melainkan tentang jiwa yang sedang belajar hadir ke dunia.
Dan kita—dokter, bidan, perawat, dan pendamping medis lainnya—sering kali menjadi penjaga pertama ruang batin itu.
Kehamilan Adalah Proses Batin, Bukan Hanya Fisik
Setiap detak jantung janin yang kita rekam lewat CTG, setiap perubahan berat badan, tekanan darah, atau pola tidur ibu, memang memberi informasi klinis yang valid. Tapi di balik itu, ada getaran batin yang tidak bisa diukur oleh alat, hanya bisa dirasakan oleh ibu—dan hanya bisa dikenali oleh kita jika kita cukup tenang untuk ikut mendengarkan.
Sebagian ibu sering berkata, “Saya merasa bayi saya tidak suka makanan ini.”
Atau, “Waktu saya marah, dia jadi diam.”
Atau justru, “Saat saya menyentuh perut dan berbicara pelan, dia terasa tenang.”
Kalimat-kalimat ini, jika kita berhenti sejenak dan tidak langsung menilainya sebagai “persepsi subjektif”, sesungguhnya adalah bentuk komunikasi awal antara ibu dan janin. Dalam konteks ini, peran kita bukan hanya memberikan edukasi, tetapi menjadi saksi dan peneguh pengalaman batin tersebut.
Mengapa Ini Penting bagi Kesehatan Jiwa Anak di Masa Depan?
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kualitas hubungan emosional ibu–janin (maternal–fetal attachment) secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental ibu, perilaku hidup sehat selama kehamilan, dan ikatan pascapersalinan. Lebih dari itu, janin yang sejak awal merasa “direspons”, dipercaya membawa bekal psikologis yang lebih kuat setelah lahir: ia telah mengenal “kehadiran”, bahkan sebelum bisa melihat.
Sebaliknya, jika ibu terus diperlakukan sebagai “wadah pertumbuhan janin” semata, tanpa diberi ruang untuk mengenali intuisi, rasa, dan getaran batinnya, maka kehamilan kehilangan esensinya sebagai ruang pembelajaran batin dua arah.
Tenaga medis memiliki peran strategis di titik ini. Kita bisa menjadi penjembatan antara logika medis dan kedalaman rasa. Kita bisa menormalisasi intuisi sebagai bagian dari proses kehamilan yang sehat. Dan lebih dari itu, kita bisa memberi ruang agar ibu merasa diizinkan untuk “merasa”, bukan hanya “mengikuti”.
Memanusiakan Proses Medis
Saya tidak menolak pentingnya standar medis. Saya juga tidak menentang teknologi dan evidence-based practice. Tetapi dalam semua itu, saya melihat ada ruang kosong: ruang yang hanya bisa diisi oleh kehadiran yang utuh dari seorang tenaga medis—bukan hanya sebagai profesional, tetapi sebagai manusia yang juga punya batin.
Karena sering kali yang paling diingat oleh ibu bukan prosedur kita, tapi cara kita menatap, mendengar, dan menenangkan. Ketika kita bertanya, “Apa yang Ibu rasakan tentang bayinya?” atau sekadar diam bersama ibu yang sedang menangis dalam keheningan, kita sedang membuka jalan bagi pengalaman batin yang mungkin tidak pernah ia izinkan muncul sebelumnya.
Dan itulah titik di mana proses medis berubah menjadi peristiwa kemanusiaan.
Dampak Jangka Panjang: Kita Tidak Sedang Menangani Kehamilan, Tapi Menemani Awal Sebuah Peradaban
Jika kita memahami bahwa bayi adalah jiwa yang hadir melalui tubuh, maka proses kehamilan bukan sekadar membawa kehidupan, tetapi juga membentuk fondasi batin generasi berikutnya.
Tenaga medis berada di titik kritis untuk membentuk bagaimana jiwa anak ini pertama kali dikenali:
- Apakah ia datang ke dunia sebagai “data” dan “angka”,
- Atau sebagai jiwa yang didengarkan, dirasakan, dan diizinkan untuk menjadi dirinya sendiri.
Pilihan ini bukan tugas orang tua semata. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai komunitas penyambut kehidupan.
Penutup: Merawat Kehidupan, Bukan Sekadar Menolong Lahirnya
Rekan-rekan sejawat,
Dalam setiap kehamilan yang kita dampingi, kita sedang menyentuh dua kehidupan: tubuh dan jiwa. Maka biarlah kita hadir dengan keilmuan yang teguh, tetapi juga dengan hati yang cukup lapang untuk percaya pada hal-hal yang tidak selalu bisa diukur.
Karena yang kita rawat bukan hanya janin—tapi ruang lahirnya manusia sebagai jiwa.
Dan di situlah, menurut saya, letak kemuliaan pekerjaan kita sebagai tenaga medis.