“Menjembatani Iman dan Ilmu: Menuju Integrasi Teologi, Sains, dan Medis dalam Pendampingan Kehidupan Prenatal”

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG


Pendahuluan: Antara Ilmu dan Iman yang Terbelah

Selama berabad-abad, ilmu medis dan teologi berjalan di jalur yang seakan berbeda. Di satu sisi, medis menekankan tubuh, fungsi biologis, dan mekanisme kehidupan. Di sisi lain, teologi berbicara tentang jiwa, makna, dan misteri keberadaan. Padahal, keduanya berbicara tentang hal yang sama: kehidupan manusia sebagai anugerah yang utuh.
Dalam konteks kehamilan, jurang ini tampak paling nyata. Kehamilan sering direduksi menjadi proses biologis semata, padahal ia juga adalah peristiwa spiritual dan teologis — tempat di mana kehidupan baru lahir dari kasih dan misteri penciptaan Allah.


Teologi dan Medis: Dua Wajah dari Satu Kehidupan

Ilmu medis tidak bertentangan dengan teologi. Ia adalah tangan yang bekerja di atas tubuh yang diciptakan Allah, sedangkan teologi adalah hati yang memahami makna dari pekerjaan itu.
Ketika keduanya berjumpa, lahirlah pandangan yang utuh tentang manusia: bukan hanya makhluk biologis yang tumbuh dan berkembang, tetapi pribadi yang dikasihi dan diundang untuk hidup dalam relasi.

Rumah sakit Katolik atau institusi beriman lainnya seharusnya menjadi tempat di mana kedua wajah ini bersatu. Di sana, tindakan medis — seperti pemeriksaan kehamilan, detak jantung janin, atau proses persalinan — tidak dilihat sekadar sebagai prosedur klinis, tetapi juga sebagai liturgi kehidupan. Dokter dan bidan menjadi pelayan kasih, bukan sekadar tenaga profesional; ibu dan janin menjadi dua subjek relasional yang saling meneguhkan dalam misteri penciptaan.


Janin Sebagai Subjek Relasional

Pandangan medis modern sering menempatkan janin sebagai objek observasi — sesuatu yang dipantau, diukur, dan dikontrol. Namun teologi tubuh prenatal mengingatkan bahwa janin adalah subjek relasional, pribadi yang sudah hadir dalam jalinan kasih.
Ia berinteraksi dengan ibunya, merasakan lingkungan, dan bahkan menanggapi kasih yang diterimanya. Pengakuan ini menuntun dunia medis untuk memperlakukan setiap kehidupan dalam rahim bukan sebagai “pasien kedua”, tetapi sebagai pribadi yang berhak atas penghormatan dan kasih yang sama.


Sains Sebagai Bahasa Kasih

Integrasi iman dan ilmu bukan berarti mengaburkan batas keduanya, melainkan menjadikannya saling menerangi. Ketika teologi berbicara tentang kasih Allah yang bekerja dalam rahim, sains membantu kita memahami bagaimana kasih itu diwujudkan secara biologis: melalui aliran darah, hormon, dan detak jantung yang sinkron antara ibu dan anak.
Dengan demikian, setiap hasil penelitian medis, setiap alat ultrasonografi, bahkan setiap konsultasi prenatal, bisa menjadi sarana kontemplasi — tempat di mana kita mengagumi kebijaksanaan Sang Pencipta yang bekerja melalui tubuh manusia.


Institusi Katolik: Rumah Inkarnasi Iman dan Ilmu

Rumah sakit bersalin Katolik atau lembaga pendamping ibu hamil seharusnya menjadi laboratorium iman dan kasih, di mana teologi inkarnasi menemukan bentuk konkritnya. Di sana, iman memberi arah moral bagi sains, dan sains memberi tubuh nyata bagi iman.
Setiap tindakan medis menjadi pelayanan spiritual: menyalami kehidupan yang sedang dibentuk, menyentuh misteri ilahi yang tumbuh dalam rahim. Dalam konteks ini, pelayanan medis tidak lagi hanya menyembuhkan, tetapi juga menghormati dan menyertai misteri kehidupan.


Penutup: Menuju Etika Kasih yang Holistik

Dunia yang terpecah antara iman dan ilmu membutuhkan jembatan baru — jembatan yang dibangun dari kesadaran bahwa keduanya mengalir dari sumber yang sama, yaitu kasih Allah.
Ketika dokter, teolog, dan ibu hamil berbagi pandangan yang sama tentang makna kehidupan sebagai anugerah, maka lahirlah bentuk baru dari pelayanan: pelayanan yang ilmiah sekaligus rohani, profesional sekaligus penuh kasih.

Integrasi teologi, sains, dan medis bukan sekadar kebutuhan konseptual — ia adalah panggilan untuk menghadirkan kembali wajah Allah di tengah praktik penyembuhan dan kelahiran.