Merawat Janin Sebagai Manusia Utuh: Suara Hati Seorang Dokter

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Selamat pagi untuk semua sahabat sejiwa—para dokter, bidan, calon ibu, dan para pendamping kehidupan.

Di pagi yang tenang ini, saya ingin menyampaikan sebuah perenungan sederhana, yang lahir dari getaran hati dan bisikan batin kehidupan dalam rahim. Bukan sekadar kata-kata indah, tetapi suara jiwa kecil yang sering kali kita lupakan keberadaannya: janin.

Saya percaya, janin adalah jiwa yang telah berbadan. Bukan sekadar “produk konsepsi”, bukan sekadar obyek medis yang harus diukur dan dipantau. Ia adalah manusia yang sedang tumbuh, dengan keunikan dan potensi yang telah ditanamkan oleh Sang Pencipta sejak awal kehidupan dimulai. Maka, merawat kehamilan bukan hanya urusan medis—tapi sebuah tanggung jawab etis, spiritual, dan kemanusiaan.


Suara dari Dalam Rahim

Beberapa waktu lalu, saya menyusun puisi dan pantun dari perspektif janin. Barangkali terdengar lucu atau dramatis, namun sesungguhnya, saya ingin menyampaikan bahwa janin juga bisa “berbicara”. Ia berkomunikasi melalui tanda-tanda tubuh ibu: lewat rasa mual, lewat kelelahan, lewat tendangan kecil yang kian hari kian kuat. Dan melalui semua itu, ia meminta didengarkan, dihormati, dan dicintai.

“Janin adalah buah hati, karenanya dirawat pakai hati.
Janin bukan buah pikiran, tak boleh rawat hanya dengan pikiran.”

Betapa sering kita mengabaikan dimensi batiniah dari kehamilan. Terlalu sibuk dengan parameter klinis, hingga lupa bahwa kasih sayang adalah gizi paling awal dan paling utama.


Bukan Objek, Tapi Subjek

Sebagai dokter, saya banyak menyaksikan bagaimana sistem medis modern terkadang memperlakukan janin sekadar sebagai objek diagnosis. Kita mendeteksi kelainan, mengukur panjang dan berat, memantau denyut jantung—semua penting dan sangat bermanfaat. Tapi jika kita tidak melihatnya sebagai manusia utuh, kita berisiko kehilangan sesuatu yang lebih penting: jiwa dari profesi kita sendiri.

Saya mengajak rekan-rekan sejawat dan seluruh tenaga kesehatan untuk kembali bertanya: “Apakah kita masih melihat janin sebagai subjek? Apakah kita benar-benar mendengarkannya?”


Kasih yang Menumbuhkan

Ketika seorang ibu mengalami morning sickness, tubuhnya melemah, emosinya naik-turun. Tapi di balik semua itu, ada proses komunikasi tak kasatmata antara janin dan ibunya. Ada relasi yang mulai tumbuh—yang hanya bisa dipahami jika kita melihat kehamilan secara utuh: biologis, psikologis, dan spiritual.

“KASIH-lah membuat nutrisi badan bernilai.
Hati menyambut janin berkomunikasi.”

Karena itu, saya percaya: pendampingan kehamilan harus dilakukan dengan kasih, bukan hanya dengan protokol. Bukan berarti kita menolak sains, tapi kita meletakkan sains di dalam wadah kasih.


Dengarkan Jeritan yang Tak Bersuara

Janin memang tak bisa bicara, tak bisa menuntut, tak bisa protes. Tapi tubuh ibulah salurannya, pancaran jiwanya. Maka, jika seorang ibu menangis, kelelahan, atau bahkan depresi, jangan remehkan. Di sana mungkin ada dua jiwa yang sama-sama memanggil: ibu, dan anak dalam kandungannya.

“Jeritan janin, dengarkan kami
Jiwa kami bisa berkomunikasi
Melalui tubuh dan panca indra mami
Maafkan kami, mami juga kadang dibuli.”


Menjadi Dokter yang Mendengar

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan: kita bukan sekadar perawat tubuh, kita adalah pendamping kehidupan. Dan kehidupan itu dimulai sejak dalam rahim. Ketika kita mendengar janin dengan hati, kita sedang merawat masa depan umat manusia.

Semoga kita semua tetap setia menjadi sahabat kehidupan—dari rahim hingga akhir hayat.

Dengan hormat dan kasih,
dr. Maximus Mujur, Sp.OG