Monetisasi Ketidakpercayaan dan Implikasinya bagi Jiwa Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam kehidupan modern, kita kerap tanpa sadar terjebak dalam logika pasar: hampir semua hal bisa dimonetisasi, termasuk ketidakpercayaan. Semakin besar rasa tidak percaya manusia—pada dirinya sendiri, pada sesama, bahkan pada Allah—semakin luas peluang industri untuk memanfaatkannya. Fenomena ini pun hadir dalam pengalaman kehamilan, di mana jiwa ibu dan janin sebenarnya dipanggil untuk saling percaya, namun seringkali diganggu oleh narasi eksternal yang menciptakan kerumitan.
Kepercayaan Menghadirkan Kesederhanaan
Ketika seorang ibu hamil hidup dalam kepercayaan kepada Allah, ia merasakan kedamaian yang menular langsung pada janin. Jiwa janin itu peka terhadap rasa syukur, kelegaan, dan ketenangan yang mengalir dari ibunya. Dalam kepercayaan, ibu mendengarkan intuisi dan tuntunan batin: kapan makan, apa yang perlu dikonsumsi, kapan istirahat, dan bagaimana merespons tubuhnya.
Inilah bentuk komunikasi jiwa yang alami dan murah. Janin menyampaikan kebutuhannya melalui rasa lapar, mual, atau bahkan dorongan emosional, dan ibu yang percaya mampu menanggapinya dengan sederhana tanpa perlu selalu mengandalkan alat atau aturan luar.
Ketidakpercayaan: Jalan Menuju Kerumitan
Namun ketika ibu mulai kehilangan kepercayaan—baik kepada Allah, pada dirinya sendiri, atau pada tubuhnya—ketidakpastian muncul. Ia mulai merasa perlu pembenaran terus-menerus dari alat, tes laboratorium, aplikasi digital, atau standar kesehatan yang ditetapkan orang lain.
Contohnya, seorang ibu bisa meragukan kesehatannya jika tidak memenuhi “gambar ideal” gizi seimbang, padahal tubuhnya sebenarnya baik-baik saja. Ia bisa merasa cemas jika belum mengukur tekanan darah atau kadar gula, meskipun secara fisik tidak ada keluhan. Rasa tidak percaya ini melahirkan kecemasan, dan kecemasan itu langsung dirasakan oleh janin sebagai energi tegang di dalam rahim.
Ketidakpercayaan ini kemudian dimonetisasi: biaya pemeriksaan, alat kesehatan, obat-obatan tambahan, bahkan “pola makan wajib” yang tidak selalu sesuai konteks lokal. Industri kesehatan tumbuh subur dari keraguan ibu hamil pada dirinya sendiri.
Komunikasi Jiwa yang Terganggu
Dari sisi komunikasi jiwa, ketidakpercayaan ibu memunculkan kebisingan yang menghalangi sinyal halus dari janin. Suara janin seringkali berupa intuisi sederhana: “Aku butuh istirahat,” atau “Aku ingin makanan alami.” Namun pesan itu bisa tertutup oleh kerumitan pikiran ibu yang sibuk mengikuti standar luar.
Akibatnya, janin tidak lagi tumbuh dalam atmosfer kepercayaan, melainkan dalam arus kecemasan. Padahal, janin yang tumbuh dalam rahim penuh percaya akan lebih mudah mengembangkan rasa aman, percaya diri, dan kesehatan psikis ketika lahir kelak.
Jalan Pulang: Meneguhkan Percaya
Refleksi ini mengingatkan kita bahwa kepercayaan adalah fondasi komunikasi jiwa antara ibu dan janin. Dengan mempercayai Allah, mempercayai tubuh sendiri, serta mempercayai suara halus janin, seorang ibu hamil sesungguhnya sedang membebaskan diri dari jebakan monetisasi ketidakpercayaan.
Percaya membuat hidup lebih sederhana, sehat, dan murah—bukan hanya bagi ibu, tetapi juga bagi janin yang sedang belajar mempercayai dunia dari dalam rahim. Dalam atmosfer ini, jiwa ibu dan janin terhubung dalam bahasa cinta yang murni, tanpa gangguan kecemasan yang diciptakan sistem.