Kebidanan: Antara Ilmu, Jiwa, dan Panggilan Kemanusiaan
Oleh : dr. Maximus Mujur,Sp.OG
Kebidanan hari ini sedang berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia ditarik oleh arus sains medis yang canggih—penuh intervensi, protokol, alat, dan standar baku yang terukur. Di sisi lain, ia sesungguhnya berakar pada seni merawat kehidupan: menyambut jiwa baru ke dunia, menemani ibu melewati ambang kelahiran, dan menjadi penjaga peristiwa paling sakral dalam kehidupan manusia. Namun dalam gegap gempita “profesionalisasi” dan “medikalisasi”, kita mulai kehilangan arah. Apakah kita masih merawat, ataukah sekadar mengelola? Apakah kita hadir sebagai pelayan kehidupan, ataukah menjadi petugas teknis persalinan?
Paradoks ini semakin terlihat saat bidan lebih sibuk dengan grafik, mesin, dan dokumentasi dibanding mendengarkan suara lirih ibu yang cemas. Atau ketika jam kerja panjang dan tekanan administratif membuat bidan kelelahan hingga tak mampu lagi menyapa dengan senyum. Sistem membuat kita profesional, tapi seringkali mematikan kepekaan. Kita diajari cara membaca CTG, tapi lupa cara membaca ketakutan seorang ibu muda. Kita mahir menghitung kontraksi, tapi lalai mendengar bisikan jiwa janin yang sedang bersiap lahir ke dunia.
Padahal kebidanan adalah profesi yang sangat spiritual. Ia bukan sekadar ilmu reproduksi, tetapi jembatan antara dunia dan rahim, antara sains dan jiwa, antara bumi dan langit. Dalam ruang bersalin, bidan bukan hanya saksi, tetapi penjaga batas antara kehidupan dan ketidakpastian. Tugas ini tak bisa ditunaikan hanya dengan keterampilan tangan—ia butuh kehadiran hati. Kehadiran penuh. Kesadaran bahwa kita sedang menyentuh kehidupan yang sangat rapuh, sangat baru, dan sangat suci.
Sayangnya, paradigma medis yang dominan kerap menutup ruang bagi kepekaan itu. Segalanya menjadi angka, grafik, dan protokol. Persalinan dijadikan proyek efisiensi. Waktu kontraksi diatur, dosis induksi dibakukan, bahkan tangisan bayi pun ditargetkan dalam jam kerja. Di manakah ruang bagi intuisi bidan? Bagi insting alami tubuh ibu? Bagi percakapan hening antara ibu dan bayinya sebelum lahir? Kebidanan yang dibungkam oleh protokol kehilangan ruhnya.
Kita perlu merebut kembali kebidanan sebagai seni kehidupan. Itu berarti melampaui sains—bukan menolaknya, tapi menempatkannya dalam konteks yang manusiawi. Ilmu sangat penting, tapi harus ditopang oleh empati. Prosedur sangat berguna, tapi tak boleh menindas intuisi. Teknologi dapat membantu, tapi kehadiran manusia tak tergantikan.
Kebidanan sejati dimulai ketika bidan berani hadir, mendengar, dan merasakan. Ketika ia tidak hanya membantu bayi keluar dari rahim, tetapi menenangkan ibu yang bergetar. Ketika ia menjadi tempat sandar bagi jiwa yang baru datang. Inilah makna terdalam dari “menolong persalinan”: bukan sekadar menurunkan angka kematian ibu dan bayi, tetapi mengawal transisi jiwa dengan kasih, keberanian, dan penghormatan.
Kebidanan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan jiwa. Dan dunia butuh bidan-bidan yang kembali menyadari bahwa dalam setiap detik mereka bekerja, mereka sedang merawat semesta.