Hening yang Mengalir: Dari Kesibukan Menuju Kedamaian Batin Ibu dan Janin
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Kapela kecil itu disiapkan sederhana. Sebuah karpet merah dibentangkan, gulungan kain biru dibentuk menjadi dua lingkaran yang mengalir ke ujung. Di sana tertulis kata-kata yang menyentuh: kesibukan, frustrasi, mendengar, damai, sumber, sumbatan, penghapusan, memformat ulang…
Namun makna simboliknya melampaui benda-benda. Ia menggambarkan kehidupan batin manusia—terutama saat seseorang sedang mengandung kehidupan baru.
Kesibukan Menyebabkan Keheningan Terlupakan
Di era saat ini, ibu hamil pun ikut terbawa ke dalam pusaran “serba cepat”. Semua ingin serba tahu, serba selesai, multitasking sambil membaca, mengisi belanja online, memantau perkembangan janin via aplikasi, mendengarkan webinar kehamilan, dan tetap menjawab pesan kerja.
Tapi pada saat yang sama, jiwa yang ada dalam kandungan ibu itu tidak tumbuh dalam kecepatan. Ia tumbuh dalam kehadiran. Dalam keheningan. Dalam pelan. Dalam kedalaman.
Kesibukan dan ketergesaan adalah gerbang menuju frustrasi. Sebaliknya, mendengar adalah gerbang menuju damai.
Mendengar Bukan Hanya dengan Telinga, tapi dengan Jiwa
Bukan hanya suara detak jantung janin yang bisa didengar. Tapi juga suara lembut dari kedalaman batin ibu:
- Suara rindu yang belum terucap,
- Suara luka yang minta disentuh,
- Suara cinta yang ingin diberi tanpa syarat.
Mendengar seperti ini tidak terjadi dalam gegap gempita. Tapi dalam latihan mindfulness—hadir sepenuhnya, di sini dan kini.
Saat seorang ibu sungguh hadir, bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk dirinya sendiri, janin pun merasa hadir sepenuhnya. Di sanalah cinta mengalir, dari inti terdalam ibu, ke inti terdalam anak.
Diriku yang Sebenarnya Bukanlah Diriku yang Aku Ketahui
Sering kali kita mengira, siapa kita hari ini—dengan segala keterbatasan, keraguan, dan ketakutan—adalah diri kita yang sejati. Padahal, bisa jadi itu hanya topeng dari luka masa lalu.
Betapa banyak keyakinan batin yang membatasi ibu hamil:
- “Saya tidak cukup baik menjadi ibu.”
- “Saya takut bayi ini tidak sehat karena kesalahan saya.”
- “Saya bukan tipe wanita penyayang.”
- “Saya tidak pantas menerima cinta dari anak ini.”
Semua itu adalah limiting beliefs yang perlu disadari, dihapus, dan diganti dengan narasi baru. Dalam kehamilan, tubuh memang memformat ulang dirinya. Tapi jiwa juga perlu diformat ulang. Bukan dengan sistem medis, tapi dengan keheningan, pengampunan, dan kasih.
Bangkitkan Singa di Dalam Diri
Ada cerita tentang seekor singa yang dibesarkan di tengah kawanan domba. Ia belajar merumput, takut pada serigala, dan hidup seperti bukan dirinya. Hingga suatu hari, ia harus menghadapi ketakutan itu. Dan ketika suara aumannya keluar untuk pertama kalinya, ia sadar siapa dirinya yang sejati.
Begitu pula ibu yang sedang hamil.
Ia bisa saja lama hidup dalam kepercayaan bahwa dirinya lemah, takut, atau tidak layak menjadi sumber kehidupan. Tapi kehadiran janin membangunkan kekuatan terdalam itu. Singa yang lama tidur kini bangkit.
Karena di dalam setiap ibu, ada kekuatan untuk:
- Menyembuhkan luka yang diwarisi,
- Menyambut kehidupan baru dengan cinta,
- Menjadi saluran rahmat dan pengharapan.
God-Zone: Zona Ilahi dalam Diri Setiap Ibu
Setiap ibu memiliki zona terdalam dalam dirinya, tempat suci tempat ia bisa bersentuhan langsung dengan energi ilahi. Bukan dari luar, tapi dari dalam. Tempat ini sunyi. Tak bisa dimasuki bila terus sibuk di luar. Ia hanya terbuka saat hening diberi tempat.
Di sanalah:
- Pikiran yang semrawut menjadi jernih,
- Keyakinan yang membatasi diganti harapan,
- Cinta menjadi bahasa utama komunikasi antara ibu dan janin.
Ibu tidak lagi hanya mendengar detak jantung janin. Tapi juga suara cinta Tuhan yang mengalir melalui setiap sel tubuhnya.
Kehamilan Adalah Retret Batin
Dalam arti terdalamnya, kehamilan adalah retret jiwa. Waktu di mana seorang ibu diajak tidak hanya menjadi wadah kehidupan biologis, tapi juga wadah transformasi spiritual.
Syaratnya sederhana:
Perlambat. Hening. Dengarkan.
Bila seorang ibu sanggup melakukan ini dengan penuh kesadaran, maka ia tidak hanya melahirkan bayi. Ia melahirkan ulang dirinya sendiri. Versi yang lebih sadar, lebih kuat, lebih utuh—dan lebih penuh cinta.