Ilmu Sebagai Hamba Jiwa: Mengembalikan Kehormatan yang Terlupakan
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam sejarah panjang pemikiran manusia, filsafat pernah menyandang gelar agung: “ibu dari segala ilmu.” Namun dalam tradisi teologi, filsafat justru diposisikan sebagai ansila—seorang hamba dari teologi. Artinya, seluruh kerja filsafat seharusnya melayani pemahaman manusia tentang Tuhan, bukan menggantikan-Nya. Ia bertanya, menalar, dan menguji, tapi pada akhirnya tetap tunduk pada wahyu, pada iman, pada misteri yang melampaui akal.
Kini, mari kita tarik analogi yang sejajar: ilmu (science) seharusnya menjadi ansila dari jiwa, sebagaimana filsafat menjadi ansila dari teologi. Mengapa? Karena jiwa adalah pusat kemanusiaan, dan ilmu hanyalah alat untuk memahami, melayani, dan memuliakan kehidupan yang berjiwa.
Namun sayangnya, peradaban modern telah membalikkan tatanan ini.
Ketika Ilmu Mengabaikan Tuannya
Ilmu berkembang pesat. Ia membawa manusia ke bulan, menciptakan AI, memetakan DNA, bahkan memperpanjang usia manusia. Tapi dalam kejayaan itu, satu hal terlupakan: jiwa manusia tak pernah ikut dilibatkan secara utuh.
Ilmu menjelaskan emosi sebagai sekadar ledakan hormon, cinta sebagai kerja neurokimia, dan kehamilan sebagai hasil pembuahan yang bisa dipantau lewat USG. Tapi… siapa yang menjelaskan keajaiban ketika seorang ibu menangis saat pertama kali merasakan detak jantung janinnya? Siapa yang bisa membuktikan secara ilmiah mengapa doa ibu menenangkan anak yang belum lahir?
Itulah wilayah jiwa—dan justru di sanalah ilmu harus tunduk dan melayani, bukan menguasai.
Ansila: Bukan Budak, Tapi Pelayan yang Mulia
Kata “ansila” bukanlah penghinaan. Dalam konteks spiritual, ansila adalah pelayan setia. Ia bukan penguasa, tapi pembela. Dalam sejarah teologi, filsafat digunakan untuk menjelaskan misteri ilahi dengan bahasa logika. Ia tidak menggantikan iman, tapi membantu manusia memahaminya dengan akal sehat.
Begitu pula ilmu. Ia seharusnya melayani kebutuhan jiwa, memperkuat cinta, memperhalus relasi, dan membuka jalan menuju kebijaksanaan. Ilmu yang kehilangan jiwa hanyalah algoritma dingin. Ia bisa menghitung detak jantung, tapi tak tahu apa arti rindu.
Mengapa Ini Penting Hari Ini
Di dunia yang semakin data-driven, manusia makin melupakan dirinya sebagai makhluk jiwa berbadan—bukan sebaliknya. Pikiran dianggap segalanya, tubuh dijadikan objek eksperimen, dan emosi sering dianggap gangguan. Lalu kita bertanya: mengapa dunia terasa sunyi, anak-anak kehilangan arah, dan para ibu hamil gelisah meski tubuh mereka sehat?
Jawabannya: karena jiwa ditinggalkan dari dialog kehidupan. Ilmu berjalan sendiri, meninggalkan majikannya—jiwa manusia.
Tugas Kita: Mengembalikan Ilmu ke Kaki Jiwa
Ilmu tidak salah. Tapi ia harus tahu tempatnya. Sama seperti pelayan yang bijak tahu siapa tuannya, ilmu harus kembali ke tujuannya: melayani kehidupan yang berjiwa.
- Ilmu kesehatan harus melayani kedamaian batin, bukan hanya pengobatan fisik.
- Ilmu pendidikan harus merawat karakter dan cinta, bukan sekadar mencetak nilai ujian.
- Ilmu sosial harus menumbuhkan empati, bukan hanya statistik.
- Dan dalam konteks kehamilan, ilmu kebidanan harus memahami bahwa janin adalah jiwa yang hadir, bukan sekadar embrio.
Penutup: Dari Ansila Menjadi Anugerah
Ketika ilmu bersedia kembali menjadi ansila dari jiwa, maka peradaban ini akan lebih hangat, lebih manusiawi, dan lebih beradab. Ilmu tidak kehilangan kehormatannya, justru mendapat tempat yang agung: sebagai pelayan dari hal yang paling luhur dalam diri manusia—jiwanya.
Karena di mana jiwa dihormati, di situ ilmu menjadi anugerah.