Menghidupkan Kembali Kesadaran akan Jiwa
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah derasnya arus teknologi dan informasi, manusia perlahan kehilangan kesadaran akan dirinya yang terdalam. Kita semakin pandai menggunakan pikiran, namun semakin jarang memberi ruang bagi jiwa untuk berbicara. Pikiran menjadi pusat kendali, sementara perasaan, intuisi, dan kesadaran batin perlahan terpinggirkan.
Padahal, manusia tidak diciptakan hanya untuk berpikir. Kita adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh—embodied soul—di mana jiwa menjadi penggerak kehidupan. Pikiran hanyalah salah satu fungsi tubuh, seperti prosesor dalam komputer. Ia dapat mengolah data, menyusun rencana, dan memberi gambaran, tetapi ia tidak memiliki kehidupan. Kehidupan itu berasal dari jiwa: arus yang mengalir, menggerakkan tubuh, menyalakan rasa, dan membentuk kehendak.
Bila arus itu padam, pikiran secanggih apapun akan menjadi organ mati. Sama seperti komputer tanpa listrik, semua kemampuannya berhenti. Inilah yang sering luput kita sadari: pikiran bukanlah pusat hidup, ia hanyalah alat.
Jiwa dan Keunikan Manusia
Hewan dan tumbuhan mempertahankan keunikan mereka secara alami. Seekor anjing tahu kapan harus makan, dan bahkan bisa memilih apa yang sesuai bagi tubuhnya. Pohon tumbuh tanpa otak, namun tetap mendengarkan “irama” kehidupannya. Mengapa manusia, dengan segala kecanggihan pikirannya, justru kehilangan kemampuan mendengar suara dalam ini?
Karena kita terlalu tunduk pada pola pikir seragam. Ilmu pengetahuan mengukur manusia dengan angka dan statistik, menyamakan semua individu, dan mengabaikan keunikan bawaan. Kita lupa bahwa setiap manusia membawa cetak biru jiwanya masing-masing.
Agama, Nilai, dan Jiwa
Banyak orang menganggap jiwa adalah urusan agama. Sehingga, ketika bicara jiwa, yang muncul adalah doktrin dan dogma. Padahal, nilai-nilai luhur seperti kasih, kelembutan, kesabaran, dan kemurahan hati bukan monopoli agama. Nilai itu adalah sifat asli jiwa manusia, yang kemudian diwadahi oleh ajaran agama.
Ketika kita memisahkan nilai dari jiwa, kita mulai mencarinya di luar diri. Kita mengira kasih harus diperoleh, bukan dihidupi. Padahal, kasih itu sudah ada, tertanam di inti jiwa sejak kita ada.
Menghidupkan Kembali Hubungan dengan Jiwa
Menyadari bahwa kita punya jiwa berarti memberi makan bukan hanya pada tubuh, tapi juga pada batin. Sama seperti kita memberi nutrisi pada tubuh melalui makanan, kita perlu memberi nutrisi pada jiwa melalui rasa syukur, keterhubungan dengan sesama, kesadaran akan makna hidup, dan kesediaan untuk mendengar suara hati.
Jiwa berbicara melalui panca indera, intuisi, dan perasaan. Saat kita menghirup aroma pagi, merasakan hangatnya sinar matahari, atau mendengar suara alam yang menenangkan, jiwa sedang berkomunikasi. Sayangnya, kita sering melewatkannya karena sibuk dengan pikiran dan layar gawai.
Menjadi Sutradara Kehidupan Sendiri
Hidup yang utuh bukanlah hidup yang hanya diatur oleh logika. Pikiran dapat merancang jalan, tetapi jiwa menentukan arah yang benar. Kitalah yang seharusnya menjadi sutradara kehidupan sendiri, bukan menjadi objek dari pikiran kita sendiri.
Teknologi, seberapa pun majunya, hanyalah cerminan dari sebagian kecil prinsip kerja manusia—khususnya pikiran. Tetapi teknologi tidak punya kasih, tidak punya kesadaran, tidak punya intuisi. Itulah yang membedakan manusia: daya hidup dari jiwa yang mengalir di dalamnya.
Penutup
Jika ingin kembali menjadi manusia yang utuh, kita perlu membiarkan jiwa mengambil perannya sebagai penggerak utama. Pikiran, tubuh, dan semua indera kita hanyalah instrumen. Dirigen sesungguhnya adalah jiwa. Dan ketika jiwa memimpin, hidup bukan hanya berjalan—ia akan mengalir dengan makna, harmoni, dan keutuhan yang tidak dapat digantikan oleh apapun di dunia ini.