Peradaban yang Harus Kembali ke Jiwa: Belajar dari Hewan dan Tumbuhan
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di tengah ledakan teknologi, manusia modern tampak semakin kehilangan arah. Segala hal kini diukur dengan logika, algoritma, dan efisiensi. Namun di balik kemajuan itu, ada paradoks besar: semakin manusia menguasai sains, semakin ia kehilangan dirinya. Peradaban yang dibangun atas nama kemajuan justru menyingkirkan unsur paling mendasar dari eksistensi manusia — jiwa.
Paradoks Peradaban: Ketika Manusia Lupa Siapa Dirinya
Peradaban modern sering memandang manusia sebagai mesin biologis yang bisa direkayasa, diperbaiki, dan dikendalikan. Teknologi kesehatan, kecerdasan buatan, hingga rekayasa genetik lahir dari pandangan bahwa kehidupan bisa dimanipulasi dengan rumus. Namun pandangan ini mengandung bahaya tersembunyi: ia menghapus makna kehidupan yang bersumber dari kesadaran, perasaan, dan spiritualitas.
Manusia lupa bahwa ia bukan sekadar makhluk berpikir — homo sapiens — melainkan makhluk yang hidup, berjiwa, dan bergetar bersama alam. Ketika jiwa dipisahkan dari sains, yang tersisa hanyalah tubuh tanpa arah, sistem tanpa rasa, dan kehidupan tanpa makna.
Kehidupan yang Belajar dari Diri Sendiri
Hewan dan tumbuhan hidup tanpa universitas, tanpa laboratorium, tanpa teori evolusi yang mereka pahami secara sadar. Namun mereka selalu tahu caranya hidup. Seekor burung tidak pernah keliru memilih arah migrasi. Pohon tidak pernah ragu kapan ia harus menggugurkan daun dan kapan menumbuhkannya kembali.
Di balik kesederhanaannya, mereka menyimpan kecerdasan biologis dan spiritual yang luar biasa — kesadaran tubuh yang menyatu dengan ritme semesta. Mereka tidak melawan alam, tetapi mengalir bersamanya.
Inilah bentuk paling murni dari kebijaksanaan hidup: tidak menentang kodrat, melainkan mendengarkan dan menyesuaikan diri dengannya. Dalam bahasa spiritual, hewan dan tumbuhan selalu “taat” kepada jiwa kehidupan yang menuntun mereka.
Pelajaran dari Alam: Keseimbangan dan Ketundukan
Sains modern mulai menyadari bahwa kehidupan tidak bisa dipisahkan dari keteraturan kosmik yang lebih besar. Penemuan tentang autofagi misalnya, menunjukkan bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbarui dan memperbaiki dirinya sendiri tanpa bantuan eksternal. Sel-sel tua dimakan oleh dirinya sendiri untuk memberi ruang bagi kehidupan baru.
Fenomena ini sejatinya adalah cermin dari prinsip yang sama yang dijalani oleh alam: pembaruan melalui penyerahan. Daun yang gugur bukan tanda kematian, tetapi cara pohon memberi ruang bagi kehidupan berikutnya. Hewan yang mati di rimba menjadi makanan bagi tanah dan menumbuhkan rerumputan baru. Siklus ini mengajarkan satu hal yang sederhana namun mendalam: kehidupan hanya bisa berlangsung jika ada jiwa yang rela menyerahkan dirinya kepada harmoni yang lebih besar.
Manusia: Makhluk yang Terlalu Pandai untuk Mendengar
Berbeda dengan makhluk lain, manusia justru kehilangan kemampuan mendengarkan dirinya sendiri. Kita lebih percaya pada layar dan data daripada pada getaran tubuh dan intuisi batin. Kita menolak rasa sakit, menekan gejala, menghapus sinyal alami yang dikirim tubuh sebagai “bahasa jiwa.”
Dalam kebudayaan kuno, tubuh adalah rumah jiwa. Dalam dunia modern, tubuh menjadi objek industri. Akibatnya, manusia terjebak dalam paradoks: ia menciptakan peradaban yang luar biasa, namun tidak bisa merasakan kebahagiaan sederhana yang dimiliki makhluk-makhluk yang ia anggap lebih rendah.
Seekor kucing tidur dengan damai di bawah sinar matahari, sementara manusia tak bisa tidur karena pikiran dan kecemasan yang ia ciptakan sendiri. Setangkai bunga mekar tanpa ambisi, sementara manusia mengejar kemakmuran dengan menghancurkan tanah tempat bunga itu tumbuh.
Menuju Peradaban yang Kembali ke Jiwa
Jika peradaban ingin bertahan, ia harus belajar kembali kepada yang paling purba — jiwa kehidupan. Jiwa adalah kesadaran yang menghubungkan tubuh, alam, dan makna. Ia tidak menolak sains, tetapi menempatkan sains dalam bingkai kemanusiaan. Ia tidak memusuhi teknologi, tetapi menjadikannya alat untuk melayani kehidupan, bukan menggantikannya.
Kembali ke jiwa berarti menghidupkan kembali kesadaran ekologis, spiritual, dan emosional yang membuat manusia sejajar dengan ciptaan lain. Ia bukan penguasa bumi, melainkan penjaganya. Ia bukan pencipta kehidupan, melainkan bagian dari tarikan napas panjang kehidupan itu sendiri.
Penutup: Saatnya Belajar dari Kehidupan
Hewan dan tumbuhan tidak membaca kitab suci, tetapi mereka taat pada hukum suci alam. Mereka tidak berbicara tentang Tuhan, tetapi hidup di dalam irama yang Tuhan ciptakan.
Mungkin kini giliran manusia untuk belajar lagi — dari mereka yang diam namun bijaksana, yang sederhana namun utuh.
Peradaban tidak akan hancur karena kurangnya teknologi, tetapi karena kehilangan jiwa.
Dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan adalah kembali ke jiwa,
karena di sanalah sumber semua kehidupan dimulai.