Personhood dalam Relasi dengan yang Lain dalam Kehamilan: Tinjauan Budaya di Indonesia (Jawa, Bali, Batak, Sunda, dan Flores)
Pendahuluan
Dalam banyak tradisi di dunia, personhood—atau keberpribadian manusia—tidak dipahami semata sebagai status biologis, tetapi sebagai realitas relasional. Seseorang menjadi pribadi bukan hanya karena “ada”, melainkan karena “berelasi”.
Dalam konteks kehamilan, relasi pertama yang membentuk personhood manusia adalah hubungan antara ibu dan janin. Relasi ini bukan hanya biologis, tetapi juga spiritual, sosial, dan kultural.
Di Indonesia, berbagai budaya besar—Jawa, Bali, Batak, Sunda, dan Flores—menyimpan kebijaksanaan yang memperlihatkan bagaimana kehidupan janin diakui, dihormati, dan disapa sebagai pribadi yang hidup dalam jejaring relasi manusia dan ilahi.
1. Jawa: Janin sebagai “Titah Gusti”
Dalam kebudayaan Jawa, anak—bahkan sejak dalam kandungan—dipandang sebagai titah Gusti, utusan Tuhan yang harus disambut dengan rasa narima dan ngajeni.
Tradisi mitoni (tujuh bulanan) merupakan pengakuan publik atas kehadiran janin sebagai bagian dari komunitas. Dalam doa dan simbol air, keluarga memohon agar janin “tumbuh becik, slamet, lan rahayu.”
Personhood janin di sini tidak ditentukan oleh bentuk fisik, tetapi oleh keterlibatan sosial dan spiritual: ia telah diakui oleh keluarga dan masyarakat sebagai makhluk yang membawa berkah.
2. Bali: Jiwa (Atman) yang Menjelma
Dalam kosmologi Hindu Bali, kehidupan dipandang sebagai proses reinkarnasi roh (atman) yang memasuki tubuh baru.
Sejak masa kehamilan, ibu dan keluarga menghormati janin sebagai roh leluhur yang kembali untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya. Upacara nelubulanin (tiga bulanan) menjadi wujud penyambutan atas kehadiran jiwa tersebut.
Ibu menjaga pikiran, ucapan, dan tindakan agar tetap sattwam (murni), sebab setiap getaran batin diyakini memengaruhi kesejahteraan jiwa di dalam kandungan.
Di sini, personhood manusia dipahami sebagai kehadiran roh ilahi yang sudah berelasi dengan kosmos, leluhur, dan keluarga sejak dalam rahim.
3. Batak: Anak sebagai “Daging dan Darah” Keluarga
Dalam budaya Batak, kehadiran seorang anak bukan hanya milik orang tua, melainkan seluruh marga.
Ungkapan “Anakku do dagingku, dohot darahku” (“anak adalah daging dan darahku”) menandakan kesatuan eksistensial antara orang tua dan anak.
Selama kehamilan, keluarga besar turut menjaga ibu dengan doa dan perayaan kecil agar boru atau anak lahir membawa hamoraon (kemuliaan).
Janin diakui sebagai pribadi karena ia sudah menjadi bagian dari jaringan kekerabatan yang membentuk identitasnya. Personhood lahir dari relasi genealogis, bukan hanya dari tubuh biologis.
4. Sunda: “Kahadean” dan Rasa Kasih Ibu
Dalam budaya Sunda, kehamilan dipenuhi nilai kahadean—kebaikan yang menular dari hati ibu ke anak.
Ibu yang hamil disebut ngandung kahirupan (memanggul kehidupan). Janin dipercaya merasakan setiap getaran kasih, doa, bahkan kecemasan ibu. Karena itu, ibu menjaga ucapan dan emosi agar tidak “nyengsarakkeun orok” (menyusahkan bayi).
Tradisi nujuh bulanan diwarnai doa bersama, mempertegas bahwa bayi telah diterima dalam nilai silih asih, silih asah, silih asuh—tiga pilar relasi kemanusiaan khas Sunda.
Personhood janin terbentuk dalam kehangatan kasih dan relasi emosional yang menumbuhkan.
5. Flores: Kehidupan sebagai Anugerah Roh dan Komunitas
Di Flores—dalam tradisi Katolik yang berpadu dengan adat setempat—kehamilan dilihat sebagai rahmat Allah dan para leluhur.
Ungkapan “Rai lale tana, do’o na lale ina” (bumi tersenyum, karena ibu sedang mengandung) menggambarkan sukacita komunal atas kehidupan baru.
Ibu hamil dijaga oleh komunitas, dan janin dianggap sudah memiliki “nama di hadapan Tuhan”.
Personhood janin di sini tidak menunggu kelahiran; ia sudah diakui oleh doa umat dan cinta keluarga, dalam kesatuan iman dan budaya.
Kesimpulan: Personhood sebagai Relasi Hidup
Dari berbagai budaya Nusantara, tampak jelas bahwa personhood tidak pernah dipandang sebagai status biologis yang berdiri sendiri.
Kepribadian manusia tumbuh dalam jaringan relasi: antara ibu dan janin, keluarga dan masyarakat, manusia dan ilahi.
Dalam kehamilan, janin bukan sekadar “calon manusia”, melainkan pribadi yang disapa—hadir, dikenal, dan dikasihi.
Kehamilan adalah peristiwa relasional yang mengungkapkan hakikat terdalam manusia Indonesia: kita menjadi pribadi karena kita dikasihi dan mengasihi.
Konsekuensi terhadap Pendampingan Kehamilan
Pemahaman bahwa janin sudah memiliki personhood relasional membawa konsekuensi besar bagi cara kita mendampingi kehamilan:
- Pendampingan yang Berfokus pada Relasi, bukan Hanya Medis
Pendampingan kehamilan tidak boleh semata berorientasi pada fungsi biologis, melainkan harus menghormati dinamika emosional dan spiritual ibu. Setiap perasaan ibu—bahagia, takut, marah, atau damai—menjadi medium komunikasi dengan janin. Maka, pendekatan empatik dan penuh kasih menjadi bagian integral dari pelayanan kebidanan dan obstetri. - Pengakuan terhadap Janin sebagai Subjek
Janin bukan sekadar “objek perawatan”, tetapi subjek kehidupan yang berinteraksi dengan lingkungan ibu. Dalam banyak budaya lokal, doa, musik, atau sapaan lembut kepada janin merupakan cara menghidupkan relasi ini. Pendamping kehamilan sebaiknya meneguhkan praktik-praktik tersebut sebagai bentuk komunikasi jiwa yang sehat. - Kolaborasi dengan Nilai Budaya dan Iman Lokal
Budaya tidak boleh diabaikan, sebab di sanalah nilai personhood ditanamkan. Pendampingan kehamilan yang menghargai adat seperti mitoni, nelubulanin, atau doa keluarga di Flores dapat memperkuat rasa syukur dan koneksi batin ibu terhadap janinnya. - Pendampingan Komunitas dan Keluarga
Kehamilan bukan urusan pribadi ibu semata. Budaya Batak, Sunda, dan Flores mengajarkan bahwa kehadiran anak adalah berkat bagi keluarga besar dan komunitas. Maka, pendampingan yang melibatkan suami, keluarga, dan lingkungan rohani akan menumbuhkan dukungan emosional dan spiritual yang memperkaya kehamilan. - Refleksi Teologis: Kehamilan sebagai Sakramen Kehidupan
Dalam terang iman Kristiani, relasi ibu dan janin mencerminkan kasih penciptaan Allah sendiri. Amoris Laetitia menegaskan bahwa setiap kehidupan yang dikandung “layak disambut dengan kekaguman dan syukur” (AL 83). Dengan demikian, pendampingan kehamilan juga menjadi tindakan iman—menyambut kehadiran Allah yang sedang bekerja dalam rahim manusia.
Penutup
Memahami personhood dalam relasi dengan yang lain menuntun kita untuk melihat kehamilan bukan sekadar proses biologis, tetapi peristiwa kasih yang menghubungkan manusia dengan sesamanya, leluhurnya, dan Tuhannya.
Pendampingan kehamilan yang menghormati kedalaman relasi ini bukan hanya menolong ibu melahirkan anak, tetapi membantu manusia dilahirkan dalam cinta.