• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Personhood (Kepribadian) Janin: Subjek Relasional dalam Teologi Tubuh Prenatal

Personhood (Kepribadian) Janin: Subjek Relasional dalam Teologi Tubuh Prenatal

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Pendahuluan

Jika teologi tubuh prenatal menyoroti rahim dan tubuh ibu sebagai lokus teologikus, maka langkah reflektif berikutnya adalah memandang janin bukan semata sebagai objek biologis yang “dibentuk” di dalam rahim, melainkan sebagai subjek teologis — pribadi yang memiliki martabat, relasi, dan potensi eksistensial penuh di hadapan Allah.
Dalam pandangan ini, janin tidak hanya menjadi penerima kehidupan, tetapi juga partisipan aktif dalam relasi kasih, baik dengan ibu, dengan lingkungan, maupun dengan Allah.


Janin sebagai Pribadi Unik dan Otonom

Teologi Kristen memahami manusia sebagai pribadi (person) bukan karena kemampuan rasional atau kesadaran reflektif, melainkan karena keberadaannya diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (imago Dei). Dengan demikian, personhood bukanlah status yang “dicapai”, tetapi karunia yang melekat sejak awal eksistensi.
Dalam konteks prenatal, hal ini berarti bahwa janin sudah merupakan pribadi, bukan calon pribadi. Ia memiliki identitas yang unik, tidak terulang, dan memiliki arah eksistensi yang dituntun oleh kasih Allah.

Keunikan biologis janin yang telah terbentuk sejak konsepsi mencerminkan misteri penciptaan pribadi yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar hasil proses genetik. Dalam perspektif teologis, otonomi janin bukanlah kemandirian mutlak yang terlepas dari ibu, tetapi otonomi relasional — suatu kedirian yang tumbuh di dalam dan melalui hubungan kasih yang memeliharanya.


Jiwa, Kehendak, dan Ekspresi Diri Prenatal

Teologi klasik memahami manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa (anima et corpus). Maka sejak awal kehidupan, janin memiliki dimensi spiritual yang hidup. Jiwa bukanlah “datang belakangan” ketika kesadaran lahir, melainkan prinsip kehidupan yang mengarahkan pertumbuhan tubuh ke arah keutuhan pribadi.

Dalam perspektif ini, janin sudah memiliki dinamika kehendak dan ekspresi diri—meskipun belum dalam bentuk rasional, namun termanifestasi dalam gerak, reaksi terhadap rangsangan, dan respons terhadap suara serta emosi ibu.
Riset interdisipliner modern mendukung pandangan ini: janin dapat mengenali suara ibu, merespons stres atau ketenangan emosional, dan menunjukkan perilaku yang unik. Dalam terang teologi, semua ini dapat dipahami sebagai ekspresi awal dari personhood yang sedang berkembang — suatu komunikasi diam antara dua pribadi yang saling menumbuhkan.


Relasi Ibu–Janin sebagai Ruang Teologis

Relasi antara ibu dan janin adalah bentuk paling dasar dari persekutuan manusia: persekutuan yang total, intim, dan tak terpisahkan. Relasi ini menjadi ikon dari relasi Allah dengan ciptaan — relasi kasih yang memberi ruang, menopang, dan menumbuhkan.
Dalam relasi ini, keduanya saling memengaruhi secara biologis, emosional, dan spiritual. Ibu tidak hanya membentuk janin; janin juga membentuk ibu. Kehamilan, dengan demikian, bukan hanya proses satu arah, tetapi komuni dua pribadi yang saling hadir dalam kasih.

Maka, setiap gangguan terhadap relasi ini — baik dalam bentuk kekerasan, stres emosional, trauma, maupun perlakuan medis yang dehumanisasi — dapat dilihat sebagai gangguan terhadap komuni kasih yang mendasari personhood. Dalam jangka panjang, luka dalam relasi ini berpotensi memengaruhi keseimbangan emosional dan spiritual anak setelah lahir.


Personhood dan Relasi Sosial

Personhood janin tidak berhenti pada relasi dengan ibu; ia juga terkait dengan masyarakat dan tatanan sosial yang menyelubunginya. Dalam perspektif komunitarian teologi tubuh prenatal, masyarakat turut berperan sebagai “rahim sosial” — lingkungan yang menyediakan dukungan, keamanan, dan pengakuan atas martabat kehidupan baru.

Maka, pelanggaran terhadap hak hidup atau penghinaan terhadap martabat prenatal bukan hanya masalah moral pribadi, melainkan krisis sosial dan teologis: kegagalan komunitas untuk mengenali kehadiran Allah dalam yang paling rapuh. Dalam pelayanan medis dan kebijakan publik, pengakuan atas personhood janin menuntut pendekatan yang menghargai kehidupan sebagai persekutuan kasih, bukan sekadar objek perawatan biologis.


Konflik Jiwa dan Implikasi Pastoral

Gangguan relasi antara ibu dan janin — entah karena tekanan psikologis, kekerasan, atau perlakuan medis yang tidak berpusat pada pribadi — dapat menimbulkan konflik jiwa prenatal. Konflik ini bukan sekadar fenomena psikosomatik, tetapi juga fenomena spiritual: gangguan pada dinamika kasih yang menjadi dasar eksistensi pribadi.

Dalam kerangka pastoral, hal ini menuntut pendekatan yang menyatukan dimensi rohani, psikologis, dan biologis. Pendampingan ibu hamil bukan sekadar edukasi kesehatan, tetapi juga penyertaan spiritual — membantu ibu menyadari bahwa ia sedang terlibat dalam misteri teologis: menghadirkan pribadi baru ke dunia.


Penutup

Personhood janin adalah pernyataan teologis tentang martabat kehidupan manusia yang berakar pada kasih Allah. Dalam kerangka teologi tubuh prenatal, janin bukanlah “objek biologis” yang menunggu menjadi seseorang, melainkan subjek relasional yang sudah menghayati dinamika kasih dan eksistensi.
Rahim menjadi ruang persekutuan, bukan hanya pembentukan; tubuh ibu menjadi sakramen kasih; dan janin menjadi pribadi yang sedang belajar mencintai bahkan sebelum mengenal dunia.

Dengan demikian, pengakuan atas personhood janin menegaskan bahwa kehidupan, sejak awalnya, adalah relasi kasih yang berinkarnasi — di mana tubuh, jiwa, dan kasih Allah berpadu membentuk misteri kepribadian manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *