Personhood: Pribadi dalam Relasi
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Dalam tradisi teologi klasik, personhood atau kepribadian manusia sering dipahami sebagai status moral yang melekat pada setiap individu sejak awal kehidupannya. Janin diakui sebagai manusia yang memiliki nilai dan martabat, karena ia adalah ciptaan Allah yang membawa potensi kehidupan manusiawi. Namun, dalam perkembangan pemikiran teologi dan antropologi relasional, muncul kesadaran baru bahwa menjadi pribadi tidak hanya berarti “ada” sebagai individu, tetapi “hadir” dalam hubungan yang saling memberi diri.
Dari Individu ke Relasi
Pemahaman klasik cenderung menekankan keberadaan pribadi sebagai entitas tunggal — manusia sebagai individu yang otonom. Namun, antropologi relasional mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah yang adalah relasi kasih antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Artinya, hakikat terdalam manusia bukanlah individualitas, melainkan relasionalitas. Seseorang menjadi pribadi bukan hanya karena ia hidup, tetapi karena ia hidup dalam hubungan: dikenal, didengar, dan dikasihi.
Janin sebagai Pribadi dalam Pelukan Relasi
Kehamilan menjadi gambaran paling konkret dari misteri ini. Dalam rahim ibu, kehidupan baru tidak sekadar bertumbuh secara biologis, tetapi juga secara eksistensial. Janin menjadi pribadi bukan semata karena ia memiliki DNA manusia, melainkan karena ia hidup dalam relasi kasih yang nyata — relasi yang menyatukan dua kehidupan: ibu dan anak.
Ketika seorang ibu berbicara kepada janinnya, mendengarkan gerak halusnya, atau merasakan kehadirannya di dalam batin, ia sedang mengakui eksistensi janin itu sebagai subjek yang berelasi dengannya. Pada saat itulah, martabat ontologis janin sebagai manusia diwujudkan secara utuh dalam kasih.
Kepribadian yang Bertumbuh dalam Kasih
Personhood, dengan demikian, bukan status yang statis, tetapi dinamika yang berkembang dalam kasih. Dalam hubungan ibu dan janin, kasih menjadi bahasa pertama yang menyingkapkan pribadi. Di sinilah tampak bahwa kehidupan manusia tidak pernah berdiri sendiri; ia lahir, bertumbuh, dan menjadi dirinya melalui relasi dengan orang lain.
Relasi yang penuh cinta antara ibu dan anak dalam kandungan menjadi ikon dari relasi Allah dengan manusia: Allah yang terus memelihara, mendengarkan, dan mengasihi. Seperti ibu yang mengenal gerak janinnya tanpa kata, demikian pula Allah mengenal kita bahkan sebelum kita lahir (bdk. Yeremia 1:5; Mazmur 139:13–16).
Penutup: Kasih yang Menghidupkan
Pemahaman personhood sebagai relasi mengundang kita untuk melihat kembali nilai hidup manusia bukan dari kemampuan berpikir atau bertindak, melainkan dari kapasitas untuk berelasi. Dalam terang ini, janin bukanlah “objek medis” yang sedang dipantau, melainkan pribadi yang diundang untuk tumbuh dalam kasih dan pengenalan.
Dan bagi setiap orang tua, pengalaman mengasihi anak sejak dalam rahim adalah partisipasi dalam kasih penciptaan Allah sendiri — kasih yang menjadikan setiap kehidupan pribadi, karena ia dihadirkan dalam relasi yang saling memberi diri.