Personhood sebagai Relasi: Menemukan Kemanusiaan dalam Jalinan Kasih yang Hidup

Oleh : dr.Maximus Mujur, Sp.OG

Salah satu kebaruan besar dalam refleksi tentang kehidupan prenatal dan teologi tubuh adalah pergeseran cara pandang tentang personhood — atau keberpribadian manusia. Selama ini, banyak pemahaman tradisional menempatkan personhood sebagai status ontologis yang melekat pada individu karena sifat biologis atau rasionalitasnya. Namun, kesadaran baru mulai tumbuh: manusia menjadi pribadi bukan karena ia “ada”, tetapi karena ia “berelasi”.


1. Pribadi yang Lahir dari Relasi

Sejak dalam kandungan, manusia sudah hidup dalam jaringan relasi yang mendalam. Janin tidak pernah “sendiri”; ia hidup dalam irama napas, detak jantung, dan emosi ibunya. Bahkan sebelum dapat berpikir atau berbicara, ia telah merasakan kasih, kegelisahan, dan doa yang mengalir melalui tubuh sang ibu. Dalam konteks ini, relasi menjadi dasar eksistensi, bukan tambahan setelah lahir.

Janin menjadi pribadi karena ia diundang untuk hidup dalam relasi kasih — dengan ibunya, dengan dunia yang menantinya, dan dengan Allah yang memberi hidup. Ia tidak memiliki kesadaran rasional, tetapi memiliki kesadaran relasional: suatu kemampuan primordial untuk merespons kasih, melanjutkan denyut kehidupan, dan berinteraksi melalui bahasa tubuh, rasa, dan jiwa.


2. Relasi sebagai Inti Kemanusiaan

Gagasan ini menantang pandangan modern yang sering mengukur kemanusiaan berdasarkan kesadaran kognitif, kemampuan moral, atau produktivitas sosial. Dalam terang teologi relasional, manusia menjadi manusia karena ia dapat dan mau berelasi.

Kemampuan untuk membuka diri terhadap yang lain — untuk menerima dan memberi kasih — merupakan inti dari imago Dei, gambar Allah yang ada dalam diri setiap manusia. Sebagaimana Allah adalah Trinitas, relasi kasih yang saling memberi diri, demikian pula manusia menemukan jati dirinya dalam memberi ruang bagi kehidupan lain.

Dengan demikian, kehamilan adalah simbol paling konkret dari personhood sebagai relasi: dua pribadi hidup dalam satu tubuh, saling berbagi darah, napas, dan jiwa, tanpa kehilangan identitas masing-masing. Ibu dan janin bukan satu individu biologis, tetapi satu kesatuan relasional — ikon kecil dari misteri Trinitas itu sendiri.


3. Ketika Relasi Dirusak: Luka Jiwa dan Krisis Kemanusiaan

Namun, ketika relasi kasih itu terputus — ketika janin dipandang sekadar objek, beban, atau proyek medis — maka personhood ikut terluka. Relasi yang tidak manusiawi melahirkan luka batin, baik pada ibu maupun pada anak.

Secara spiritual dan psikologis, setiap kehidupan membawa jejak relasi awalnya. Jika janin mengalami penolakan, kekerasan emosional, atau bahkan rasa takut yang terus-menerus, maka ekspresi jiwanya tertahan. Ia belajar sejak dini bahwa dunia bukan tempat yang aman. Dalam jangka panjang, luka ini dapat mewujud dalam bentuk gangguan kecemasan, depresi, atau kesulitan mempercayai cinta.

Karena itu, melindungi kehidupan bukan hanya soal mempertahankan biologisnya, tetapi juga memelihara relasi kasih yang menyelubunginya. Personhood tidak bisa tumbuh dalam isolasi; ia hanya berkembang dalam atmosfer kasih yang menerima dan menyembuhkan.


4. Personhood sebagai Relasi Kasih yang Dihidupi

Dari sini, kita dapat memahami bahwa menjadi pribadi bukanlah status statis, melainkan dinamika hidup kasih. Personhood bukan sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dihidupi dalam interaksi, empati, dan keterbukaan terhadap yang lain.

Dalam konteks prenatal, personhood janin tidak terletak pada kemampuan berpikirnya, tetapi pada keterikatannya dalam relasi kasih yang nyata: dengan ibu yang mendoakannya, dengan keluarga yang menantinya, dan dengan Allah yang meniupkan roh kehidupan ke dalam dirinya.

Setiap kehidupan baru adalah undangan untuk memperluas lingkaran kasih itu. Ibu yang menyambut kehidupan sedang memperluas kapasitas jiwanya untuk mencintai; dunia yang menyambut anak baru sedang memperluas ruang kemanusiaannya.


5. Dari Ontologi ke Komuni: Arah Baru Teologi Personhood

Pandangan ini membawa kita pada pergeseran mendalam dalam cara Gereja dan teologi memahami manusia. Personhood tidak lagi dipandang sebagai “status ontologis” yang dimiliki secara pasif, tetapi sebagai komuni kasih yang terus dihidupi.

Dalam terang ini, manusia tidak didefinisikan oleh kesadarannya, tetapi oleh keterhubungannya. Ia menjadi manusia sejati ketika mampu menghidupi kasih, merawat yang lain, dan membuka diri bagi kehidupan. Dalam bahasa iman, inilah cerminan Allah sendiri — bukan Allah yang jauh dan mahakuasa, tetapi Allah yang hidup dalam relasi kasih yang memberi ruang bagi ciptaan untuk ada.


Penutup: Kasih sebagai Jantung Personhood

Personhood sebagai relasi menegaskan bahwa kita menjadi manusia karena dicintai dan karena mampu mencintai. Seperti janin yang tumbuh dalam rahim ibunya, setiap manusia berkembang dalam jalinan kasih yang menopangnya. Jika relasi itu dijaga, kehidupan akan lahir dengan damai. Jika relasi itu dirusak, manusia kehilangan arah terdalam dari keberadaannya.

Maka, mempertahankan kehidupan berarti merawat relasi kasih — mulai dari rahim hingga seluruh perjalanan eksistensi. Di sinilah misteri besar kemanusiaan menemukan maknanya: kita ada karena dicintai, dan kita menjadi pribadi sejati ketika cinta itu kita hidupi.