• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Pulang Menjadi Diri Sendiri: Saat Jiwa Kecil dalam Rahim Mengajar Kita Tentang Keaslian

Pulang Menjadi Diri Sendiri: Saat Jiwa Kecil dalam Rahim Mengajar Kita Tentang Keaslian

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Setiap manusia lahir sebagai pribadi yang utuh, asli, dan tak tergantikan. Namun perlahan, banyak dari kita menjadi salinan—mengenakan topeng untuk terlihat menarik, berbicara seperti yang diharapkan, bertingkah seolah-olah tahu segalanya demi dipuji. Kita belajar menyembunyikan luka dengan senyum, menekan tangis demi terlihat kuat, dan menyisipkan keinginan orang lain dalam langkah kita.

Dan di tengah semua itu, datanglah sebuah jiwa kecil, tumbuh perlahan dalam rahim, mengetuk keheningan batin kita dengan cara yang sederhana tapi tak terbantahkan. Ia tidak berbicara, tidak menuntut, tidak memaksa. Tapi ia hadir—dan dengan kehadirannya, ia mengajak kita kembali kepada diri sendiri.

Kehamilan: Jalan Pulang Menuju Keaslian Jiwa

Dalam keheningan malam saat semua orang tidur, seorang ibu mungkin mengelus perutnya dan berkata dalam hati, “Aku tak tahu harus jadi seperti apa, tapi aku ingin hadir sepenuhnya untukmu.” Kalimat ini, sesungguhnya adalah doa paling jujur yang bisa diucapkan manusia. Doa yang tidak mencari kesempurnaan, tapi mengakui keberadaan. Doa yang tidak menuntut jawaban, tapi membuka ruang bagi kejujuran batin.

Kehamilan, jika dijalani dengan kesadaran jiwa, bukan sekadar pertumbuhan biologis, melainkan ziarah menuju keutuhan. Tubuh yang berubah bukan penghalang, tapi pengingat bahwa hidup sedang melampaui batas ego kita. Ia sedang mengundang kita untuk hadir, untuk mendengar, untuk memperlambat langkah, dan mendengarkan bahasa tak bersuara dari dalam.

Bahasa Rasa: Ketika Janin Berbicara Lewat Keheningan

Janin tidak pernah berteriak. Ia tidak mengajarkan kita lewat argumen. Ia menyampaikan kebutuhan dan pesannya melalui rasa, gerak, intuisi, dan keheningan.

Bagi ibu yang peka, satu tarikan nafas dalam bisa terasa sebagai sapaan. Satu malam yang penuh gelisah bisa mengandung pesan tersembunyi dari jiwa kecil yang sedang bertumbuh. Ia mungkin sedang berkata, “Ibu, tenanglah. Aku di sini. Aku tidak membutuhkan ibu yang sempurna, hanya ibu yang hadir.”

Dan justru di momen seperti itulah, pertumbuhan sejati dimulai.

Bukan hanya janin yang bertumbuh, tapi jiwa ibunya pun mulai membuka lembaran baru—lebih jujur, lebih merdeka, dan lebih berani menjadi dirinya sendiri.

Kemenangan Sejati adalah Mengalahkan Diri Sendiri

Dalam dunia yang penuh perbandingan, kemenangan sering diukur dari pencapaian luar: seberapa banyak yang dimiliki, seberapa sempurna tampilannya, seberapa banyak orang menyukai kita. Tapi ada satu kemenangan yang jauh lebih penting, dan hanya kita yang tahu kapan itu terjadi: saat kita mampu mengalahkan diri sendiri.

Saat kita memilih jujur ketimbang tampil keren.
Saat kita lebih memilih berdoa ketimbang menyalahkan.
Saat kita berhenti menyamar dan mulai mencintai diri sendiri dari luka-lukanya.
Saat kita mampu menatap diri di cermin dan berkata, “Inilah aku. Tidak sempurna, tapi nyata.”

Dan justru di titik itu, jiwa janin akan merasa paling terhubung. Karena yang mengalir lewat plasenta bukan hanya nutrisi, tetapi juga getaran kejujuran dan cinta tanpa syarat.

Keindahan Jiwa Melampaui Kecantikan Tubuh

Hari ini banyak orang cemas akan penampilan luar: warna kulit, bentuk tubuh, kerutan di wajah. Tapi sangat sedikit yang bertanya: “Bagaimana keadaan jiwaku hari ini?” Kita mencemaskan penampilan karena takut ditolak. Tapi jiwa kita merindukan keindahan yang lebih dalam—keindahan yang jujur, hangat, dan tak bisa dipoles oleh riasan.

Dalam kehamilan, tubuh memang berubah. Tapi justru di sana ada pelajaran agung: keindahan sejati bukanlah kulit tanpa cela, melainkan jiwa yang bersyukur dan hati yang teduh.

Karena janin lebih mengenal getaran syukur daripada kilau kosmetik. Ia lebih mengenal suara hati daripada caption media sosial.

Syukur: Jalan Tercepat Menuju Kedamaian

Ada satu kalimat sederhana yang menyimpan kekuatan besar:
“Aku bersyukur atas keberlimpahan yang aku miliki, dan atas keberlimpahan yang sedang datang.”

Syukur bukan sekadar ucapan. Ia adalah postur jiwa yang terbuka, yang tidak melihat kekurangan sebagai kutuk, tapi sebagai ruang bertumbuh. Ketika seorang ibu memilih bersyukur atas detak jantung janinnya, atas mual yang mengingatkan bahwa hidup sedang tumbuh, atas tangis yang membuka ruang sembuh—maka itulah doa paling tulus yang mengalir langsung ke ruh sang anak.


Penutup: Jiwa Kecil Itu Sedang Mengajarkanmu Menjadi Asli

Kehamilan bukan sekadar waktu biologis. Ia adalah undangan spiritual untuk menjadi otentik. Dalam dunia yang mendorong kita menjadi fotokopi, kehamilan justru memanggil kita kembali kepada keaslian. Dan guru pertamanya adalah jiwa mungil yang belum lahir itu.

Ia tidak meminta banyak, hanya satu hal:
“Ibu, jadilah dirimu. Karena saat ibu menjadi diri sendiri, aku pun belajar mengenali diriku.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *