• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Rahim Surgawi dan Jiwa yang Bertumbuh: Sebuah Panggilan Kasih dalam Kehamilan

Rahim Surgawi dan Jiwa yang Bertumbuh: Sebuah Panggilan Kasih dalam Kehamilan

image_pdfimage_print

Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di balik setiap detak jantung janin, tersembunyi energi kasih yang mengikat jiwa dengan tubuh. Kehidupan manusia bukan sekadar pertemuan biologis antara sperma dan sel telur, tetapi sebuah perjalanan spiritual—jiwa suci dari surga yang datang ke bumi melalui pelukan kasih dua insan yang saling mencinta. Maka wajar bila kehamilan bukan sekadar proses fisik, melainkan peristiwa spiritual tertinggi, tempat kasih dan kasar bertemu, dan tempat manusia belajar menjadi manusia sejati.

1. Jiwa Janin Bukan Objek, Tapi Subjek yang Bertumbuh

Ilmu medis sering memosisikan janin sebagai “objek”—diukur, ditimbang, diberi obat saat dianggap “bermasalah.” Padahal, dalam dimensi spiritual, janin adalah subjek yang aktif, yang sedang belajar bertumbuh dari pengalaman kasar dunia. Ia belajar dari relasi orang tuanya, dari rasa damai atau luka dalam batin ibunya, bahkan dari kata-kata, pikiran, dan suasana batin yang menyelimuti rahimnya. Ketika ibu merasa mual karena membenci sesuatu, bukan sekadar hormon yang bicara, melainkan intuisi janin yang menolak energi negatif itu.

2. Rahim Surgawi: Tempat Jiwa Bertumbuh dalam Kasih

Rahim bukan sekadar tempat fisik untuk tumbuh, tapi ruang spiritual yang menampung jiwa dari surga. Maka luka batin, dendam, dan dengki yang masih mengendap dalam diri ibu bisa menjadi kabut pekat yang mengganggu pertumbuhan jiwa bayi. Janin, sebagai jiwa yang suci, mencari kehangatan kasih untuk bertumbuh. Jika rahim menjadi tempat dendam bersarang, janin bisa bertanya, “Mengapa aku dibentuk di tempat yang begini?”

Maka tugas pertama seorang ibu—bahkan sebelum hamil—adalah menyembuhkan jiwanya. Membersihkan rahim dari amarah, luka lama, dan trauma. Menyambut jiwa baru bukan dengan syarat, tapi dengan energi kasih yang merangkul.

3. Ayah dan Ibu: Penjaga Sukacita

Cinta yang menyatukan ayah dan ibu dalam pernikahan adalah sumber energi ilahi. Membuat cinta bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan peristiwa spiritual yang mengundang jiwa baru ke dunia. Jika pertemuan itu dilakukan dalam kasih, maka jiwa yang hadir pun datang dari cahaya kasih.

Tugas orang tua bukan hanya memberi makan dan menjaga fisik janin, tapi menjaga sukacita dan kasih sebagai atmosfer utama pertumbuhannya. Jangan biarkan relasi penuh keluh dan caci. Jangan biarkan pikiran negatif menjadi rumah pertama bagi jiwa yang murni. Jiwa anak akan meniru: bukan hanya gerak, tapi getaran rasa orang tuanya.

4. Pikiran yang Mengingkari Jiwa: Krisis Zaman Ini

Zaman modern mengglorifikasi pikiran, data, dan logika. Namun terlalu sering, pikiran manusia justru mengingkari jiwanya sendiri. Jiwa dianggap abstrak, tak bisa dibuktikan, dan karena itu diabaikan. Ironisnya, manusia yang menolak keberadaan jiwa—padahal dirinya sendiri adalah jiwa berbadan—sebenarnya sedang mengkhianati dirinya sendiri.

Seperti dalam teologi klasik yang menyebut filsafat sebagai hamba dari teologi, maka pikiran seharusnya menjadi pelayan bagi jiwa. Bukan mendominasi, apalagi mengolok-olok eksistensinya. Tanpa jiwa, manusia kehilangan arah, cinta kehilangan tempat, dan kehidupan kehilangan makna.

5. Menyambut Jiwa, Menyembuhkan Dunia

Jika setiap orang tua menyambut jiwa anaknya dengan kasih, jika setiap rahim menjadi surgawi, maka dunia akan dipenuhi generasi yang lahir dari cinta, bukan dari luka. Maka jangan remehkan kehamilan—ia bukan sekadar fase biologis, tapi panggilan spiritual yang tinggi. Di sanalah manusia dibentuk—jiwanya, bukan hanya raganya.

Sebagai orang tua, tugas kita bukan hanya menjaga tubuh anak, tapi memelihara jiwanya sejak sebelum ia lahir. Menjadi ayah dan ibu bukan gelar sosial, tapi gelar jiwa. Dan gelar ini tidak diperoleh dari universitas, tapi dari kesediaan kita untuk mencintai, tumbuh, dan menerima setiap proses sebagai ujian kasih.


Penutup:
Marilah kita kembali menghidupkan kata “jiwa” dalam obrolan kita, dalam cara berpikir, dan terutama dalam kehamilan. Sebab, di situlah manusia pertama kali belajar: bukan dari suara, tapi dari rasa; bukan dari sains, tapi dari cinta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *