“Sakramen Perkawinan dan Awal Kehidupan Baru: Tuntutan Etis dan Pastoral bagi Gereja di Era Kehidupan Prenatal”

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG


Pendahuluan: Dari Altar ke Rahim – Kasih yang Menjelma

Sakramen perkawinan bukan sekadar perayaan cinta antara dua pribadi, melainkan permulaan dari suatu ekonomi kasih yang membuka ruang bagi kehidupan baru. Dari altar, kasih itu bergerak menuju rahim — tempat misteri inkarnasi diteruskan dalam skala manusiawi. Di sinilah teologi tubuh menemukan konteks konkret: kasih yang diikrarkan di depan altar mengambil bentuk biologis dalam tubuh ibu, dan kehidupan baru menjadi saksi nyata bahwa Allah masih berkarya melalui manusia.

Namun, kesadaran teologis ini menuntut tanggapan baru. Gereja tidak cukup berhenti pada pengajaran moral tentang prokreasi, tetapi harus menumbuhkan ekosistem pastoral yang meneguhkan kehidupan sejak konsepsi. Gereja dipanggil bukan hanya untuk membela hidup, tetapi mengasuhnya sejak awal — secara spiritual, medis, dan sosial.


Sakramen Perkawinan: Tempat Kehidupan Dimulai

Sakramen perkawinan mempersiapkan suami-istri bukan hanya untuk menjadi pasangan yang sah, tetapi menjadi pelayan penciptaan. Dalam kasih yang disahkan oleh Allah, mereka diutus menjadi lokus pertama dari kehidupan baru.
Kasih suami dan istri adalah doa yang menjadi tubuh; dalam perjumpaan itu, kasih Allah menjelma menjadi pribadi lain. Maka, setiap janin bukan hanya hasil biologi, tetapi buah teologis dari ikatan sakramental — tanda bahwa kasih ilahi masih mengalir melalui tubuh manusia.

Dengan cara ini, keluarga Kristen dipahami sebagai ruang inkarnasi, tempat di mana kehidupan rohani dan jasmani bertemu. Keluarga bukan sekadar unit sosial, melainkan perpanjangan sakramen — altar kecil di mana kasih Allah dihidupi setiap hari melalui tanggung jawab, pengorbanan, dan pelayanan.


Tanggung Jawab Etis: Menghormati Kehidupan sebagai Pribadi Relasional

Jika janin dipahami sebagai pribadi yang berelasi — bukan objek biologis — maka seluruh sistem pelayanan Katolik harus berubah cara pandangnya.
Rumah sakit bersalin Katolik, klinik, panti asuhan, hingga lembaga pendidikan harus menjadi tempat di mana setiap kehidupan manusia, bahkan yang belum lahir, dihormati sebagai subjek kasih.
Ini berarti bahwa pendekatan medis harus bersifat relasional dan komunikatif: mendengarkan ekspresi janin melalui tubuh ibu, memperlakukan setiap kehidupan dengan martabat spiritualnya, dan menolak segala bentuk perlakuan yang mereduksi manusia menjadi objek penelitian atau kontrol biologis semata.

Secara pastoral, ini juga menuntut pembaruan: Gereja perlu melatih pendamping keluarga, konselor perkawinan, dan tenaga pastoral untuk memahami dimensi teologis kehidupan prenatal. Pelayanan sakramental tidak lagi berhenti pada upacara, tetapi diperluas menjadi pendampingan eksistensial — menemani pasangan dalam pergulatan kehamilan, kehilangan, atau kelahiran.


Institusi Katolik: Sakramen yang Hidup di Tengah Dunia

Rumah sakit Katolik, pusat pastoral, dan lembaga karitatif adalah perpanjangan tangan Gereja yang berinkarnasi.
Di tempat-tempat inilah teologi kehidupan diuji dalam praksis: apakah kasih benar-benar dihidupi dalam pelayanan, atau hanya diwartakan di mimbar?
Ketika seorang dokter menyapa ibu hamil dengan empati, ketika bidan berdoa bersama pasangan yang menantikan anaknya, ketika seorang pastor mendengarkan tangis kehilangan karena keguguran — di situ teologi menjadi hidup, dan Gereja menjadi wajah Allah yang menyentuh manusia dengan kelembutan.


Menuju Teologi Relasi yang Hidup

Seluruh gagasan ini membawa kita pada kesadaran baru: iman Katolik harus bergerak dari teologi status menuju teologi relasi.
Janin bukan sekadar “manusia kecil yang akan menjadi pribadi”, tetapi sudah menjadi pribadi karena ia hidup dalam relasi — dengan ibunya, ayahnya, dan dengan Allah yang menghembuskan napas kehidupan ke dalam dirinya.
Maka, tugas etis Gereja bukan hanya mengajarkan bahwa kehidupan harus dijaga, tetapi menghadirkan relasi kasih yang memungkinkan kehidupan itu tumbuh dengan bermartabat.


Penutup: Gereja Sebagai Rahim yang Menyambut

Gereja sendiri dipanggil menjadi seperti rahim: ruang yang menampung, mengasuh, dan menyambut setiap kehidupan dengan kasih.
Dalam sakramen perkawinan, kasih Allah menemukan tubuhnya; dalam pastoral keluarga, kasih itu bertumbuh; dan dalam setiap tindakan karitatif, kasih itu menjelma menjadi pelayanan.

Maka, di tengah dunia yang sering menilai kehidupan dari produktivitas, Gereja diundang untuk menghidupi logika kasih yang melampaui kalkulasi:
bahwa setiap kehidupan, sekecil apa pun, adalah misteri Allah yang harus disambut dengan doa, pelayanan, dan penghormatan.