• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
Sekolah Jiwa: Dari Ilmu yang Merusak ke Ilmu yang Menerangi Kehidupan

Sekolah Jiwa: Dari Ilmu yang Merusak ke Ilmu yang Menerangi Kehidupan

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Selama beberapa dekade terakhir, dunia modern menjadi saksi bagaimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan di ruang-ruang sekolah justru membawa peradaban menuju krisis. Ilmu yang dahulu diyakini sebagai jalan menuju kemajuan, kini menampakkan wajah lain: ilmu yang kering dari jiwa, yang membangun kecerdasan tanpa kebijaksanaan, dan yang menghasilkan kemajuan tanpa belas kasih.

Kita menyaksikan perang demi perang—Israel dan Palestina, Rusia dan Ukraina, bahkan yang kini membara antara Israel dan Iran—semuanya didukung oleh kecanggihan ilmu dan teknologi. Tapi pertanyaannya: apakah sains kita lahir untuk menghancurkan kehidupan?

Di balik segala penemuan, dunia pendidikan modern seringkali menjauhkan manusia dari keseimbangan hidup. Sekolah membentuk manusia yang pandai berpikir tetapi miskin rasa, ahli logika tetapi lumpuh dalam empati. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu yang seharusnya menolong justru menjadi pemisah: antara yang “berilmu” dan yang “tidak berilmu.” Akibatnya, muncul kesombongan halus yang membuat ilmu kehilangan arah spiritualnya.

Kisah sederhana tentang keluarga yang disebutkan dalam teks itu menggambarkan paradoks ini: mereka yang tidak sekolah hidup panjang dengan hati damai, sedangkan yang mengandalkan ilmu sering mati muda karena stres, penyakit degeneratif, dan kehilangan keseimbangan batin. Mungkin bukan sekolahnya yang salah, melainkan jiwa yang ditinggalkan di belakang ilmu itu.

Sekolah Dunia dan Sekolah Jiwa

Sekolah dunia membentuk kecerdasan untuk tubuh—untuk membangun, menaklukkan, dan menguasai bumi. Namun tanpa jiwa, semua itu menjadi sumber kehancuran. Maka lahirlah kebutuhan akan sekolah yang baru: Sekolah Jiwa, sekolah yang membebaskan manusia dari dosa asal perpecahan, kecemburuan, keserakahan, dan ketakutan.

Sekolah ini bukan sekadar ruang akademik, melainkan ruang penyucian batin. Di sana, ilmu menjadi doa, dan belajar menjadi jalan menuju sukacita. Sukacita—bukan prestasi atau ambisi—adalah cahaya sejati yang membedakan ilmu yang menyembuhkan dari ilmu yang melukai.

Dalam semangat ini, lahirlah simbol “Universitas Sukacita” — tempat jiwa belajar untuk kembali bersatu dengan terang hidup. Gelarnya bukan sarjana ekonomi atau kedokteran, melainkan Sarjana Sukacita (S.S.C), Magister Sukacita (M.S.C), dan seterusnya—gelar spiritual yang menandai kematangan batin seseorang dalam menghidupi ilmu dengan kasih dan kesadaran.

Filosofi Lalong Rombeng: Pergi dengan Kosong, Pulang dengan Cahaya

Kebijaksanaan orang Manggarei mengajarkan: “LALONG BAKOK DU LAKO, LALONG ROMBENG DU KOLE.”
Artinya, pergilah menuntut ilmu dengan hati kosong, tanpa beban ego, tanpa rasa ingin menguasai. Dan ketika engkau kembali, bawalah cahaya, warna, dan kebenaran yang meneduhkan banyak orang.

Inilah hakikat belajar sejati: pergi dengan kesucian, pulang dengan kebijaksanaan. Bukan untuk menjadi lebih tinggi dari yang lain, tetapi untuk menjadi pohon rimbun tempat banyak jiwa berteduh.

Sekolah Baru bagi Dunia yang Lelah

Dunia hari ini tidak membutuhkan lebih banyak orang pintar, tetapi lebih banyak orang terang.
Tidak membutuhkan lebih banyak sarjana, tetapi lebih banyak pembawa sukacita.
Karena hanya jiwa yang bersukacita yang mampu menyembuhkan bumi yang lelah.

Maka, sekolah jiwa harus lahir di tengah sekolah dunia. Setiap ibu, setiap ayah, setiap guru, bahkan setiap janin dalam kandungan—semuanya bisa menjadi murid dalam universitas cahaya ini. Di sana, ilmu bukan lagi alat untuk menaklukkan, tetapi jalan untuk berdamai dengan kehidupan.

Belajar bukan lagi untuk menjadi unggul, tetapi untuk menjadi utuh—menyatukan tubuh dan jiwa, sains dan iman, bumi dan langit, manusia dan sesama.

Dan ketika cahaya sukacita itu mulai menerangi kembali hati manusia, barulah sekolah—dalam arti yang sejati—menjadi alat penyelamat, bukan penyebab kehancuran.

Akhirnya, sekolah sejati adalah tempat jiwa belajar untuk kembali mencintai kehidupan.
Bukan sekolah yang mengajarkan bagaimana menguasai bumi,
tetapi sekolah yang menuntun kita untuk menjaga bumi sebagai rumah jiwa bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *