Suara Jiwa yang Tak Terucap: Dialog Sunyi Antara Ibu dan Janin

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Di balik keheningan rahim, ada kehidupan yang mulai tumbuh. Namun, bukan sekadar pertumbuhan biologis. Dalam keheningan itulah, jiwa janin mulai berbisik—bukan dengan suara, melainkan dengan rasa. Ia menyapa, ia menangis, ia bersyukur, dan ia mencinta, jauh sebelum tubuhnya mampu mengekspresikan semua itu.

Jiwa seorang janin tidak menunggu waktu kelahiran untuk hidup. Ia telah hadir sejak mula, sejak cinta pertama kali mengundangnya ke dunia ini. Ia membawa serta pesan-pesan halus dari Sang Sumber, menitipkan harapan agar sang ibu dan ayah tidak sekadar menjadi pembentuk tubuhnya, melainkan juga penjaga jiwanya.

“Aku hadir,” bisik sang janin dalam diam. “Aku bahagia karena kasih menyambutku.” Kata-kata ini tidak diucapkan lewat bibir mungilnya, melainkan melalui rasa yang merambat dalam tubuh sang ibu—lewat mual yang tidak selalu bermakna sakit, lewat kelelahan yang mengandung pesan.

Janin itu bukan sekadar buah daging. Ia buah hati. Ia membawa jiwanya yang utuh, lengkap dengan keunikannya sendiri. Ia tidak menuntut sempurna. Ia hanya memohon satu hal: didengarkan. Didengarkan bukan dengan telinga, melainkan dengan hati. Sebab suara jiwanya tidak bersumber dari pita suara, melainkan dari kedalaman eksistensinya.

Ketika sang ibu resah, janin pun ikut gelisah. Ketika sang ayah marah, ia pun ikut merasa terombang-ambing. Jiwa yang lembut ini sangat peka. Ia bisa meminjam mata ibu untuk menangis, telinga ibu untuk menangkap kegelisahan, bahkan batuk ibu pun kadang menjadi media protesnya.

Dalam setiap tetes air mata yang tertahan, mungkin ada getaran hati janin yang merasa tidak dimengerti. Dan dalam setiap senyuman yang tulus, ada cahaya yang menguatkan pertumbuhannya. Komunikasi mereka bukan komunikasi yang biasa. Ini adalah komunikasi batin, komunikasi jiwa, komunikasi yang melebihi batas kata-kata.

Ia tidak meminta banyak. Hanya satu: cinta yang tulus. Sebab cinta adalah nutrisi yang lebih penting daripada sekadar gizi. Cinta menghidupkan tubuh sekaligus jiwa. Cinta membuat janin bertumbuh bukan hanya menjadi manusia, tetapi menjadi pribadi utuh yang tahu ia diterima, dihargai, dan dicintai sejak awal.

Kehadiran janin adalah anugerah yang tak ternilai. Dan dalam dirinya, tersimpan jeritan-jeritan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau diam dan menyimak: “Terimalah aku dengan sukacita. Rawatlah aku dengan kasih. Dengarkan aku dengan jiwamu.”

Begitu dalam dan menyentuh suara jiwa yang tak terucap ini. Ia tidak membutuhkan pengeras suara untuk terdengar. Ia hanya butuh ruang di hati—ruang yang bersih, jernih, dan penuh penerimaan.

Dan di sanalah, komunikasi paling hakiki antara ibu dan anak dimulai: bukan setelah kelahiran, melainkan sejak jiwa bertemu dalam rahim cinta.