
🌿 Bahasa Jiwa dalam Pantun: Menyentuh yang Tak Terucap
🖋️ Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
💭 “Ketika jiwa bicara lewat bait-bait pantun, ia tak sekadar menyampaikan pesan—ia menyapa kedalaman rasa. Ia hadir bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dirasakan.”
Pendahuluan: Kata yang Menggugah Jiwa
Di tengah hiruk pikuk zaman yang menjadikan pikiran sebagai pusat segalanya, ada ruang sunyi yang tak boleh ditinggalkan: ruang jiwa. Ruang ini tidak berisik, tidak debat, tidak mendesak. Ia hadir lewat diam, lewat isyarat, dan kadang… lewat pantun. Di sana, kita tidak hanya berpikir. Kita mendengar. Kita merasa.
Dalam dunia medis, dalam kehidupan spiritual, bahkan dalam relasi sehari-hari, terlalu banyak hal yang hilang hanya karena kita lupa mendengarkan dengan hati. Maka, tulisan ini bukan untuk memberi tahu, tetapi untuk menyentuh. Bukan untuk menjelaskan, tetapi untuk mengajak kembali menyapa sisi terdalam dari kemanusiaan kita.
Jiwa Tak Bicara dengan Kata: Ia Menyentuh
Ketika seorang ibu hamil tiba-tiba menolak nasi, mual melihat air putih, atau menangis tanpa sebab logis, sesungguhnya yang berbicara bukan akalnya—tetapi jiwanya. Dan jiwa itu, terhubung dengan kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Sebelum kata-kata dimiliki, sebelum suara terdengar, tubuh sudah tahu. Rasa sudah bekerja. Pengetahuan tanpa bahasa itu adalah bukti bahwa jiwa lebih dulu hadir daripada logika.
Jiwa tidak mencatat data. Ia membaca makna. Ia menolak bukan karena alasan medis, tetapi karena pengetahuan yang dalam dan senyap: bahwa sesuatu tidak selaras dengan dirinya. Maka, ketika tubuh berbicara lewat rasa, kita seharusnya mendengarnya bukan dengan logika, tetapi dengan hati.
Pantun sebagai Wahana Komunikasi Jiwa
Pantun adalah seni yang merangkul. Ia bukan argumen, bukan opini. Ia adalah ungkapan yang mengalir dari rasa. Ketika seseorang menulis pantun, sebenarnya ia sedang menyampaikan bisikan dari ruang batin yang tak terdefinisikan. Bukan untuk diperdebatkan. Hanya untuk dirasakan.
Dalam dunia yang terbiasa dengan klarifikasi dan pembuktian, pantun memberi ruang untuk jeda. Ia tidak menuntut disetujui. Ia hanya mengajak: rasakanlah. Maka di tengah ruang diskusi yang penuh tekanan, pantun menghadirkan kelembutan. Ia membuat orang berhenti sejenak, membuka hati, dan bertanya dalam diam: apa makna dari yang kusimak barusan?
Menjaga Suara Jiwa di Tengah Kebisingan Pikiran
Dalam percakapan ilmiah atau kelompok diskusi, seringkali muncul tarik-menarik antara pikiran dan perasaan. Beberapa terlalu fanatik pada rasionalitas, sementara yang lain larut dalam emosi. Keseimbangan keduanya jarang dirawat.
Di sinilah pantun berperan. Ia hadir bukan untuk menguatkan satu sisi, tetapi untuk menjembatani keduanya. Ia menyentuh logika dengan estetika, dan menyapa jiwa dengan kelembutan kata. Tanpa menggiring. Tanpa menggurui. Sebuah cara menyampaikan yang tidak menciptakan reaksi, tapi menciptakan resonansi.
Seni Menyampaikan Tanpa Menggurui
Pantun memiliki kemewahan yang tidak dimiliki banyak bentuk komunikasi lain: ia bebas dari instruksi. Ia tidak mengklaim kebenaran. Ia tidak menantang diskusi. Tapi justru karena itu, ia menancap dalam. Ia tidak masuk dari telinga, tapi masuk dari hati.
Ketika orang membalas pantun dengan pantun, maka percakapan bukan lagi duel pikiran, tapi tarian rasa. Di situlah muncul keindahan: kesadaran bahwa komunikasi terbaik bukanlah yang paling meyakinkan, tapi yang paling menyentuh. Pantun mengajak kita mengingat bahwa tidak semua hal perlu dijelaskan. Beberapa cukup disampaikan dengan pelan dan tulus.
Penutup: Biarkan Jiwa Bicara, Jangan Dihambat Logika
Dalam perjalanan saya menulis dan berpraktik, saya semakin yakin: jiwa memiliki bahasanya sendiri. Kita hanya perlu belajar mendengar. Belajar membaca. Dan kadang, cukup dengan sebaris pantun, kita sudah bisa mengetuk pintu hati seseorang yang sedang hampa.
Jangan buru-buru menjelaskan. Jangan tergoda menasihati. Kadang, cukup menuliskan pantun. Sisanya biarlah bekerja dalam diam. Karena bukan kita yang mengubah manusia, tapi sentuhan halus yang datang dari kedalaman dirinya sendiri.