• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
“30 Tahun Bersama Jiwa-Jiwa Kecil: Sebuah Kesaksian Seorang Dokter Kandungan”

“30 Tahun Bersama Jiwa-Jiwa Kecil: Sebuah Kesaksian Seorang Dokter Kandungan”

image_pdfimage_print

Catatan Reflektif Seorang Dokter Setelah Puluhan Ribu Pendampingan Kehamilan

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Saya adalah seorang dokter kandungan. Sudah lebih dari tiga puluh tahun saya hidup di antara detak jantung janin, air mata haru para ibu, dan ruang-ruang bersalin yang penuh harapan. Saya sudah mendampingi puluhan ribu kehamilan—dari yang berjalan mulus hingga yang mengguncangkan iman. Dan dari semua itu, saya belajar satu hal yang tak pernah saya temukan di bangku kuliah atau buku teks kedokteran:

Kehamilan adalah komunikasi jiwa.

Ini bukan sekadar teori atau renungan spiritual. Ini adalah kesimpulan dari endapan pengalaman—kristalisasi dari ribuan pertemuan, percakapan, dan peristiwa yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika medis.

Apa Itu Kehamilan? Sebuah Pertemuan Jiwa

Saat saya masih muda, saya berpikir kehamilan adalah proses biologis. Telur dibuahi, rahim menampung, janin tumbuh, lalu lahir. Namun semakin lama saya mendampingi para ibu, saya menyadari bahwa yang terjadi jauh lebih dalam.

Banyak ibu datang kepada saya dengan pernyataan yang tidak bisa dijelaskan secara medis:

“Dok, saya tahu saya hamil bahkan sebelum menstruasi saya telat.”
“Saya merasa ada yang hadir dalam tubuh saya.”
“Saya merasa anak ini memilih saya.”

Kalimat-kalimat ini mengusik nalar medis saya di awal. Tapi ketika saya mendengarnya ribuan kali dari ibu yang berbeda-beda, dari latar belakang yang berbeda, saya berhenti menyangkal. Saya mulai mendengarkan.

Dan saya menemukan: janin bukan sekadar sel yang tumbuh. Ia adalah jiwa yang hadir.

Apa yang Terjadi dalam Kehamilan? Percakapan Tanpa Suara

Dalam proses kehamilan, janin berkomunikasi. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan rasa. Ia berbicara lewat mual, ngidam, perubahan suasana hati, air mata ibu yang tiba-tiba mengalir tanpa sebab.

Saya pernah mendampingi seorang ibu yang berkata, “Dok, saya rasa bayi saya sedang sedih.” Beberapa hari kemudian, janinnya terdeteksi mengalami perlambatan pertumbuhan. Saya mulai mempercayai sesuatu yang tidak diajarkan: janin berusaha menyampaikan sesuatu, dan tubuh ibu adalah medianya.

Maka, saya mulai bertanya lebih sering kepada para ibu:

“Apa yang kamu rasakan?”
“Apa yang dibisikkan oleh hatimu tentang bayi ini?”

Jawaban mereka sering kali lebih akurat daripada hasil USG.

Apa yang Seharusnya Terjadi dalam Kehamilan? Kembali Mendengarkan Jiwa

Kehamilan bukan seharusnya menjadi proyek medis. Ia adalah ziarah batin. Seharusnya, ibu tidak hanya diperiksa, tapi didengarkan. Tidak hanya disuntik dan diukur, tapi disapa secara batin.

Saya menyaksikan sendiri betapa ibu-ibu yang menjalani kehamilan dengan keterhubungan jiwa pada janinnya memiliki ketenangan luar biasa. Mereka berbicara pada anak mereka setiap hari. Mereka bertanya pada hati mereka sebelum membuat keputusan. Mereka tidak melawan rasa, tapi berdamai dengannya.

Di sinilah saya menyaksikan keajaiban:
Janin tumbuh dengan damai, persalinan berjalan lancar, dan ikatan antara ibu dan anak menjadi pondasi kokoh bahkan setelah kelahiran.

Apa yang Dirusak oleh Ilmu Medis Modern?

Saya adalah bagian dari dunia kedokteran. Tapi saya juga menjadi saksi bagaimana dunia ini pelan-pelan mengambil alih kehamilan dari tangan ibu itu sendiri. Mesin CTG menggantikan rasa. Jadwal kontrol menggantikan percakapan batin. Protokol menggantikan intuisi.

Kita menciptakan ilusi keamanan sambil secara tak sadar mencabut kebijaksanaan paling murni dari rahim: kemampuan seorang ibu untuk mengetahui apa yang terjadi pada anaknya, bahkan sebelum ia lahir.

Dan ironisnya, ketika saya bertanya pada para ibu, sebagian besar merasa kehilangan kendali.

“Dok, saya takut kalau saya salah.”
“Saya enggak ngerti tubuh saya sendiri.”
“Saya cuma ikut apa kata dokter.”

Dan itu menyedihkan. Karena sebenarnya, yang paling tahu tentang janin adalah ibu itu sendiri.

Kesimpulan dari Ribuan Kisah: Janin Adalah Jiwa yang Sadar

Setelah mendampingi puluhan ribu ibu, saya tidak lagi meragukan: janin adalah subjek. Ia sadar, ia merespons, ia mencintai. Ia bisa merasa bahagia, takut, bahkan terluka oleh konflik batin ibunya. Dan ketika ibu diajak untuk menyapa, mendengarkan, dan menghormati jiwa janinnya—maka kehamilan menjadi peristiwa suci, bukan hanya fase biologis.

Saya tidak menolak kemajuan ilmu. Tapi saya percaya: ilmu yang baik adalah yang merendahkan diri di hadapan misteri kehidupan. Dan kehamilan adalah salah satu misteri terbesar itu.


Penutup: Sebuah Undangan untuk Kembali Mendengar

Saya menulis ini bukan sebagai pengajar. Saya menulis sebagai seorang dokter yang telah disentuh oleh ribuan jiwa kecil. Saya ingin mengajak para ibu, para bidan, para dokter, dan siapa pun yang terlibat dalam proses kehamilan—untuk berhenti sejenak dari kebisingan alat dan teori.

Kita perlu kembali mendengar.
Kita perlu kembali merasakan.
Kita perlu kembali percaya pada percakapan jiwa antara ibu dan janin.

Karena di situlah hidup dimulai. Bukan dari denyut jantung pertama, tetapi dari sapaan pertama yang tidak terdengar telinga, tapi mengguncang jiwa.


“Kehamilan bukan hanya kehadiran janin dalam rahim. Ia adalah kehadiran Tuhan dalam perbincangan dua jiwa yang saling belajar untuk mencintai, sejak dalam senyap.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *