
Menjadi Rumah Bagi Jiwa yang Datang: Pesan untuk Ayah dan Ibu yang Sedang Menanti
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Setiap kehamilan membawa harapan. Ada kehidupan baru yang sedang tumbuh, dan bersamanya hadir berjuta tanya:
Apakah aku akan menjadi orang tua yang baik?
Apa yang harus kupersiapkan?
Bagaimana aku bisa memenuhi semua kebutuhan anakku kelak?
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Tapi di tengah kegelisahan dan daftar panjang persiapan fisik, ada satu hal yang sering luput disadari: anak yang sedang datang bukan hanya tubuh yang akan tumbuh, tetapi jiwa yang ingin dikenal.
Dan tugas orang tua bukan sekadar memberi tempat lahir, tetapi menjadi rumah pertama bagi jiwanya.
Anak Datang Bukan Kosong
Anak bukan kertas putih. Ia datang membawa benih keunikan, arah, dan panggilan hidupnya sendiri. Ia bukan proyek untuk dibentuk sesuai impian kita, melainkan tamu yang harus dikenali dengan penuh hormat.
Ketika Ibu merasa mual saat makan sesuatu, ketika Ayah menyentuh perut dan merasa tenang, atau ketika keduanya bermimpi tentang sesuatu yang terasa “bermakna”—mungkin itu bukan sekadar kebetulan. Mungkin, itu adalah cara jiwa kecil itu menyapa.
Janin tidak berbicara dengan kata-kata, tapi ia mengirimkan rasa. Ia berbicara lewat intuisi. Dan ia menunggu:
Apakah Ayah dan Ibu bersedia mendengarkan aku yang belum bisa bicara?
Menjadi Orang Tua Dimulai dengan Mendengarkan
Menjadi orang tua tidak dimulai saat bayi menangis untuk pertama kali.
Ia dimulai sejak masa-masa hening, ketika Ibu duduk sendiri dan merasa ada yang “berbeda” di dalam.
Ia dimulai saat Ayah memeluk Ibu dan mengatakan, “Apa pun yang kamu rasakan, aku bersamamu.”
Ia dimulai ketika kalian, sebagai pasangan, mulai menyadari bahwa kalian tidak sedang membentuk manusia, tapi menyambut jiwa.
Dan cara terbaik menyambut jiwa adalah dengan mendengarkan.
Bukan hanya mendengarkan suara, tapi juga keheningan.
Bukan hanya mendengarkan saran orang, tapi juga mendengarkan rasa yang muncul dari dalam tubuh dan batin.
Rumah Jiwa Tidak Perlu Mewah
Banyak orang tua merasa harus siap secara materi: kamar bayi, perlengkapan, tabungan pendidikan. Semua itu baik. Tapi jangan sampai kesiapan luar membuat kita melupakan satu hal penting: anak butuh tempat pulang secara batin.
Ia butuh tahu bahwa orang tuanya tidak hanya kuat secara ekonomi, tapi juga hadir secara emosional.
Bahwa ketika ia merasa bingung, gelisah, atau ingin menjadi dirinya sendiri—rumah itu masih ada.
Rumah yang dimaksud bukan bangunan. Tapi dua hati yang saling menjaga, dan bersama-sama menjaga satu jiwa kecil.
Anak yang Merasa Didengarkan Akan Tumbuh Kuat
Anak-anak yang sejak dalam kandungan merasa dihargai perasaannya, akan tumbuh dengan kepercayaan pada dirinya sendiri. Ia tidak mudah goyah saat dunia bising. Ia tidak gampang kehilangan arah. Karena sejak awal, ia sudah belajar:
“Aku boleh menjadi diriku sendiri. Aku didengarkan. Aku diterima.”
Dan semua itu dimulai bukan dari sekolah atau nasihat. Tapi dari kalian—Ayah dan Ibu—yang bersedia meluangkan waktu sejenak, menempelkan tangan di perut, dan berkata dalam hati:
“Kami siap mendengarkanmu, Nak. Bahkan sebelum kau bisa bicara.”
Penutup: Ayah dan Ibu, Kalian Sudah Cukup
Di tengah tekanan zaman dan ekspektasi sosial yang kadang berat, semoga artikel ini menjadi pengingat sederhana:
Kalian tidak harus sempurna. Kalian tidak harus tahu segalanya.
Yang terpenting adalah: hadir, mendengarkan, dan mencintai dengan sadar.
Karena jiwa yang datang tidak membutuhkan orang tua yang tahu semua hal,
ia hanya butuh dua manusia yang bersedia menjadi rumah—yang hangat, tenang, dan setia menunggu suara batinnya tumbuh.