• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
“Ayah Mendengarmu, Nak”

“Ayah Mendengarmu, Nak”

image_pdfimage_print

Puisi dari Ayah untuk Janin di Rahim Ibu

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Wahai anakku,
Yang tumbuh dalam hening rahim ibumu,
Ayah tak mampu mendengarmu seperti ibumu,
Namun hati ini pun bergetar tiap kau berbisik lewat rasa.

Maafkan ayah,
Jika kadang diamku terasa jauh,
Padahal setiap detak jantungmu
Mengetuk pintu batin yang tak pernah terkunci.

Anakku,
Sejak kabar kehadiranmu menyapa,
Ada gelombang kasih yang tak mampu kujelaskan
Hanya air mata diam yang menjadi saksinya.

Ayah tahu,
Kau bukan sekadar daging dan darah
Kau jiwa—utusan Sang Kasih—yang menitip harap
Untuk dirawat bukan hanya dengan logika,
Tapi dengan rasa, dengan iman, dengan cinta.

Jika tubuh kecilmu gelisah,
Mungkin karena pikiranku lelah
Jika kau muntah lewat tubuh ibumu,
Mungkin karena aku belum menyambutmu dengan tuntas.

Hari ini,
Ayah belajar untuk tidak hanya jadi suami,
Tapi jadi rumah bagimu,
Pelindung yang mengerti bahkan sebelum kau bisa bicara.

Aku elus perut ibumu,
Bukan hanya untuk menenangkanmu,
Tapi untuk mengingatkan diriku—
Bahwa engkau adalah amanah suci.

Jangan takut, Nak,
Meski dunia kadang bising dan kelam,
Ayah dan ibu ada bersamamu,
Mendengar, mencintai, dan setia
Meski belum melihatmu dengan mata.

Tetaplah tumbuh,
Dengan irama jiwamu yang unik dan mulia,
Karena ayah kini mengerti:
Kau tak hanya butuh gizi,
Tapi butuh hati yang mendengarkanmu sepenuh-penuhnya.

Saat Ayah Mulai Mendengarmu, Nak

Refleksi Jiwa Seorang Ayah untuk Janin dalam Kandungan

Dalam kebanyakan narasi kehamilan, sosok ibu sering menjadi pusat cerita—dan itu wajar. Sebab tubuh ibu menjadi ruang suci tempat kehidupan baru bersemi. Namun, di balik keheningan itu, ada satu hati lain yang ikut bergetar dalam diam: hati seorang ayah. Ia tak hamil, namun ia menanggung harap. Ia tak mual atau muntah, tapi ia menyimpan gundah. Dan lewat puisi, seorang ayah akhirnya membuka ruang batin yang lama tersembunyi.

Dari Keheningan ke Keterhubungan

Puisi “Ayah Mendengarmu, Nak” bukan sekadar untaian kata. Ia adalah jembatan batin seorang ayah yang belajar mendengar bukan dengan telinga, tapi dengan rasa. Sebab, suara janin tak datang dari pita suara, tapi dari kedalaman jiwa yang terhubung oleh kasih.

Dalam penggalan bait yang lirih, sang ayah mengakui keterlambatannya memahami bahwa anak yang sedang tumbuh itu tidak hanya tubuh mungil yang menanti dilahirkan, tapi adalah jiwa utuh yang sudah mengamati, merasakan, dan berbicara—dalam bahasa spiritual yang sunyi namun menggetarkan.

“Jika tubuh kecilmu gelisah,
Mungkin karena pikiranku lelah”

Ayah mulai sadar bahwa ketidakhadiran emosionalnya bisa menyentuh janin, bahwa pikirannya yang kacau bisa membuat janinnya mual lewat tubuh sang ibu. Kesadaran ini membuat peran ayah dalam kehamilan melampaui sekadar mencari nafkah atau mendampingi ke rumah sakit. Ia menjadi mitra batin sang anak sejak dalam rahim.

Menjadi Ayah Sebelum Bayi Lahir

Kehamilan bukan hanya masa tunggu, tapi masa belajar. Belajar menjadi rumah, bukan hanya kepala keluarga. Dalam puisinya, sang ayah dengan jujur menyampaikan bahwa ia ingin menjadi tempat aman bagi anaknya—bukan hanya setelah lahir, tapi sejak kini, sejak denyut pertamanya terasa di balik perut ibu.

“Aku elus perut ibumu,
Bukan hanya untuk menenangkanmu,
Tapi untuk mengingatkan diriku—
Bahwa engkau adalah amanah suci.”

Sentuhan itu bukan hanya gerakan fisik, tapi bahasa kasih yang menguatkan dua jiwa sekaligus: ibu dan anak. Dalam dunia yang sibuk dan sering keras, seorang ayah yang mau melambat dan mendengar adalah anugerah besar bagi tumbuh kembang jiwa anaknya.

Mendengar Bukan Setelah, Tapi Sejak Dini

Puisi ini membawa pesan penting: bahwa mendengar anak tidak harus menunggu mereka lahir, apalagi menunggu mereka bisa berbicara. Sebab komunikasi jiwa tak terbatasi oleh usia atau kemampuan bicara. Jiwa janin punya caranya sendiri menyapa ayah dan ibu—melalui rasa, intuisi, bahkan lewat perubahan suasana hati sang ibu.

Sang ayah dalam puisi itu akhirnya belajar bahwa kebisuan bukan berarti ketidakhadiran. Justru di balik kesunyian rahim, ada percakapan jiwa yang sangat nyata—jika sang ayah mau diam dan mendengarkan.

“Tetaplah tumbuh,
Dengan irama jiwamu yang unik dan mulia,
Karena ayah kini mengerti:
Kau tak hanya butuh gizi,
Tapi butuh hati yang mendengarkanmu sepenuh-penuhnya.”

Penutup: Ayah, Dengarkanlah

Artikel ini bukan ajakan untuk menjadi sempurna, tapi untuk hadir. Sebab, kehadiran ayah yang mendengarkan sejak dalam kandungan akan menumbuhkan anak-anak yang tahu bahwa dunia menyambut mereka bukan hanya dengan tangan terbuka, tapi dengan jiwa yang hadir sepenuhnya.

Mendengarlah, Ayah. Dalam diamnya, anakmu sedang berbicara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *