• +62 811-221-488
  • #
  • Cilaki, Bandung
artikel
“Dengarkan Pesannya”: Renungan Dokter Kandungan setelah 30 Tahun Menemani Kehamilan

“Dengarkan Pesannya”: Renungan Dokter Kandungan setelah 30 Tahun Menemani Kehamilan

image_pdfimage_print

Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG

Saya sudah lebih dari tiga dekade mendampingi para ibu menjalani kehamilan. Ribuan pasien telah saya temui, mendengar ceritanya, menenangkan kegelisahannya, dan menolong persalinannya.

Dan kalau ada satu hal yang terus saya pelajari, itu adalah: kehamilan itu bukan cuma proses medis, tapi perjalanan jiwa.


Sering sekali ibu-ibu muda datang dengan wajah cemas. “Dok, saya mual parah. Tidak tahan. Ini penyakit ya?”

Saya biasanya menenangkan dulu. Saya bilang: “Mual dan muntah itu wajar di trimester pertama. Tapi bukan hanya wajar secara medis. Coba dengar baik-baik: tubuh Anda sedang berbicara. Bahkan mungkin janin Anda sedang ‘berbicara’.”

Saya tidak sedang menggurui dengan hal mistis. Tapi 30 tahun mendengarkan cerita pasien membuat saya sadar—banyak sekali ibu yang sebenarnya menemukan kebijaksanaan lewat rasa mual itu.

Ada ibu yang bilang pada saya: “Dok, saya suka sekali kopi. Tapi setiap minum, mual berat. Akhirnya berhenti demi bayi.”

Yang lain bilang: “Saya suka makan pedas. Tapi janin protes—saya muntah hebat. Jadi saya berhenti.”

Atau yang lebih halus: “Kalau saya marah-marah, mualnya makin menjadi. Tapi kalau saya tenang, berdzikir, mualnya reda.”

Bayangkan. Bukankah itu seperti bahasa halus? Sebuah komunikasi?


Sebagai dokter, saya tentu paham penjelasan biologisnya—ada hormon tertentu meningkat, pengaruh perubahan metabolisme, perlindungan alami terhadap racun. Tapi penjelasan medis itu tidak pernah bisa menangkap seluruh makna pengalamannya.

Saya selalu bilang pada pasien: “Tubuh Anda bukan musuh. Dengarkan dia.”

Saya melihat pasien yang belajar menyesuaikan diri. Mereka membatasi porsi makan, memilih makanan lebih ringan, mengatur jadwal istirahat. Mereka bilang: “Saya kompromi, Dok. Saya tidak mau terlalu keras pada diri sendiri, tapi juga mendengar ‘permintaan’ bayi.”

Bagi saya, itu indah. Itu bukan sekadar diet kehamilan. Itu adalah seni menjadi ibu.


Namun saya juga melihat sisi lain.

Ada ibu yang terlalu patuh pada rasa mual hingga melupakan dirinya. Saya pernah menegur lembut seorang ibu: “Ibu tidak makan daging sama sekali padahal butuh zat besi. Jangan terlalu takut. Kita bisa coba perlahan, cari cara.”

Ada yang bilang: “Saya tidak minum susu sama sekali padahal kaki saya kram.”

Saya bilang: “Janin butuh ibu yang kuat. Mengalah itu baik, tapi jangan sampai mengorbankan diri tanpa batas.”

Saya ingin semua ibu tahu: janin butuh cinta, tapi juga butuh ibu yang sehat. Menjadi ibu itu seni menimbang: kapan mengalah, kapan tetap bertahan.


Sebaliknya, saya juga melihat ibu yang menolak mendengar.

“Dok, saya tetap minum kopi, padahal muntah terus.”

“Kenapa?” tanya saya.

“Ya, saya butuh.”

Saya tidak marah. Saya hanya bilang pelan: “Itu pilihan Ibu. Tapi kadang tubuh itu kasih sinyal. Kalau kita abaikan, bukan hanya tubuh kita yang protes. Bisa jadi janin juga tidak nyaman.”

Saya sudah terlalu lama melihat pola yang sama. Mual bukan sekadar gejala. Ia adalah bahasa tubuh. Kadang sangat halus, tapi jujur.


Saya kira menjadi dokter kandungan bukan cuma memeriksa kandungan, mendengar detak jantung janin, atau membantu persalinan. Itu semua penting. Tapi lebih penting lagi mengingatkan: “Dengarkan tubuhmu. Dengarkan bayimu.”

Mual dan muntah bisa menjadi dialog pertama antara ibu dan janin. Dialog yang tak terdengar, tapi terasa. Lewat mual, janin berkata: “Aku di sini. Aku butuh diperhatikan.”

Dan ibu belajar mendengar, belajar menahan diri, belajar menyesuaikan diri. Itu latihan menjadi orang tua.

Kadang saya bilang pada pasien saya:

“Kelak saat anakmu lahir, dia akan bicara dengan menangis, merengek, memanggilmu. Tapi sekarang, saat di rahim, ia bicara lewat tubuhmu sendiri. Jangan abaikan suaranya.”

Saya kira itulah pelajaran terbesar yang bisa saya bagi setelah 30 tahun menemani para ibu: Jangan buru-buru memusuhi mual. Dengarkan. Hargai. Itu adalah percakapan jiwa yang lembut antara ibu dan anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *