
“Ketika Janin Bicara Lewat Rasa: Refleksi Seorang Dokter Kandungan”
Oleh: dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Selama lebih dari tiga dekade saya mendampingi para ibu hamil di Rumah Sakit Borromeus, saya menyaksikan banyak kemajuan dalam dunia kebidanan: teknologi USG 4D, deteksi dini kelainan janin, hingga inovasi dalam manajemen risiko kehamilan. Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya oleh alat medis: hubungan batin antara ibu dan janinnya.
Saya mulai menyadari sesuatu yang unik dari para ibu yang peka terhadap perasaannya sendiri. Mereka sering tahu lebih awal jika “ada yang tidak beres”, bahkan sebelum laboratorium atau alat diagnostik berbicara. Tak jarang saya mendengar mereka berkata, “Saya merasa bayi saya tidak nyaman hari ini, dok”, padahal semua parameter medis tampak normal. Dulu saya menganggapnya intuisi yang samar. Kini saya meyakini: itu adalah komunikasi jiwa.
Dalam praktik saya, saya semakin terbuka pada pendekatan yang tidak semata-mata klinis. Saya mengajak para ibu untuk menuliskan pengalaman kehamilan mereka dalam bentuk buku harian. Ada yang mencatat perasaan mual berulang di jam tertentu, ada yang merasa bayinya lebih aktif saat mendengar suara tertentu, ada pula yang sekadar menuliskan emosi harian mereka. Dalam catatan-catatan sederhana itu, saya mulai melihat pola.
Tiga alat bantu sederhana saya gunakan untuk mengenali dinamika ini:
- Buku harian ibu,
- Wawancara reflektif saat kontrol kehamilan,
- Storytelling atau kisah kehamilan yang dikisahkan kembali secara naratif.
Melalui ketiganya, saya belajar bahwa kehamilan bukan hanya proses biologis. Ia adalah proses emosional yang sangat dalam, di mana ibu mulai belajar memahami bahasa baru—bahasa tubuh, rasa, intuisi.
Salah satu contoh yang paling membekas dalam benak saya adalah seorang ibu yang mengalami mual parah setiap kali bekerja di ruang rapat yang tertutup. Tak ada kelainan medis. Namun setelah saya ajak refleksi, ia menyadari bahwa bayinya bereaksi terhadap stres lingkungan itu. Setelah ia memutuskan untuk mengurangi frekuensi berada di ruang tersebut, mualnya berkurang drastis. Apakah ini kebetulan? Atau justru bentuk komunikasi janin paling jujur?
Saya tidak sedang mengajak para sejawat meninggalkan sains atau membuang protokol medis. Tidak. Saya justru ingin menambahkan satu dimensi baru dalam pendekatan kita: mempercayai subjektivitas ibu. Dalam kehamilan, subjektivitas bukan kelemahan. Ia adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang dirasakan ibu dan janinnya.
Sayangnya, paradigma medis sering kali lebih tertarik pada apa yang bisa diukur, dicetak dalam angka, dan dibandingkan. Tapi kehidupan tidak hidup dalam angka. Kehidupan ada dalam rasa. Dan selama tiga puluh tahun saya menjadi saksi: rasa seorang ibu adalah alat deteksi paling awal, paling jujur, dan sering kali paling akurat.
Kini, saya mendorong para ibu untuk “belajar mendengar janin dari dalam”. Mual, perubahan suasana hati, bahkan dorongan tiba-tiba untuk menangis atau tertawa—semuanya adalah bagian dari komunikasi yang utuh. Tidak semua ibu langsung peka. Tapi seperti halnya mengenal tangisan bayi setelah lahir, mengenal intuisi janin juga adalah keterampilan yang bisa dilatih.
Kehamilan bukan sekadar membawa kehidupan, tetapi juga proses belajar menjadi pendengar yang paling dalam. Dan saya percaya, jika lebih banyak ibu dan tenaga medis membuka ruang untuk intuisi dan perasaan dalam proses kehamilan, maka kita tidak hanya melahirkan bayi yang sehat, tetapi juga hubungan batin yang lebih kuat sejak dalam rahim.
Saya percaya, inilah warisan terbaik dari tiga puluh tahun saya mendampingi kehidupan lahir ke dunia: bahwa suara janin bukan selalu terdengar lewat alat, tetapi seringkali—lewat rasa.