
Keutuhan Manusia: Ketika Hati dan Otak Bicara
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Ada sesuatu yang ganjil dalam dunia modern: segala terasa semakin canggih, tapi manusia justru makin gamang. Kita bisa menciptakan robot yang berjalan, mobil tanpa sopir, bahkan kecerdasan buatan yang mampu menulis puisi. Tapi mengapa banyak orang tetap merasa kosong? Kenapa kebisingan kemajuan kadang tidak mampu menenangkan kegelisahan batin?
Barangkali, jawabannya terletak bukan di luar sana, tetapi di dalam diri kita. Di antara dua kutub yang selama ini jarang kita sandingkan dengan seimbang: hati dan otak.
Dua Jalan Kecerdasan
Manusia diberkahi dua jenis kecerdasan: yang satu berbicara lewat angka, logika, dan bukti—itulah otak. Yang satu lagi bersuara lembut lewat perasaan, keyakinan, dan kasih—itulah hati.
Otak menciptakan teknologi. Ia menuntun kita meraih gelar, menyusun strategi, dan menyelesaikan soal matematika. Tapi hati yang membuat kita menangis saat menyentuh doa. Hati yang membuat kita memeluk anak ketika ia pulang terlambat tapi tetap selamat.
Dunia modern sangat menyukai otak. Sekolah-sekolah membesarkan rasionalitas. Buku-buku pelajaran mengajarkan metode. Media sosial mengagungkan prestasi dan produktivitas. Tapi di manakah tempat bagi hati? Di mana kita belajar memaafkan, bersyukur, atau sekadar diam merenungi matahari pagi?
Percaya atau Bukti?
Otak selalu bertanya: “Buktinya mana?”
Tapi hati sering menjawab: “Aku percaya.”
Percaya itu tidak butuh bukti. Kita percaya pada cinta orang tua, pada harapan masa depan, bahkan pada doa yang tak terlihat hasilnya sekarang. Percaya bukan kelemahan—justru itulah kekuatan manusia yang tak bisa ditiru mesin.
Ketika seseorang sakit parah, teknologi akan berkata: “Prognosisnya 20%.” Tapi hati keluarga akan berkata: “Kami tetap berdoa.” Di sinilah manusia menunjukkan keutuhannya—karena ia tidak hidup hanya dengan rumus, tapi juga dengan harapan.
Tubuh dan Jiwa: Siapa yang Kau Rawat Hari Ini?
Tubuh butuh makan. Jiwa butuh makna. Tapi berapa banyak dari kita yang sibuk memberi makan tubuh—sarapan pagi, kopi sore, vitamin malam—tapi lupa memberi makan jiwa?
Kita lupa menyapa diri sendiri. Lupa menangis. Lupa merenung. Lupa mengajak jiwa pulang.
Akhirnya kita merasa “tidak utuh”. Padahal yang kita butuhkan kadang bukan seminar sukses, bukan pelatihan otak kanan, tapi kesunyian yang jujur. Kita hanya perlu sejenak menutup mata dan membiarkan hati bicara.
Menjadi Anak TUHAN atau Anak Dunia?
Manusia selalu hidup di tengah tarik-menarik. Dalam dirinya ada cahaya dan bayangan. Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi anak TUHAN atau anak dunia.
Menjadi anak TUHAN bukan berarti menjadi sempurna, tapi menjadi pribadi yang memilih kasih daripada benci. Memilih pengampunan daripada dendam. Memilih berjalan pelan bersama nilai, daripada berlari cepat mengejar ambisi kosong.
Sebaliknya, ketika manusia hanya mengejar kekuasaan, uang, atau pengakuan, ia tak lagi mendengar suara hatinya. Di situlah manusia menjadi “anak hantu”—bukan karena berwujud menakutkan, tapi karena kehilangan arah dan tidak tahu siapa dirinya.
Orang Tua: Pengasuh atau Pemilik?
Di rumah, kita belajar pertama kali tentang cinta. Tapi rumah juga bisa jadi tempat anak kehilangan dirinya.
Apakah kita sebagai orang tua hadir sebagai pengasuh, atau pemilik?
Apakah kita membesarkan anak agar mereka tumbuh, atau agar mereka tunduk?
Anak-anak bukan kertas kosong yang bisa kita tulis seenaknya. Mereka adalah taman jiwa yang unik. Perlu disiram dengan kasih, bukan diatur dengan rasa kepemilikan.
Di Ujung Jalan: TUHAN Masih Menunggu
Pada akhirnya, segala yang kita miliki—gelar, teknologi, pengikut media sosial—akan tertinggal. Tapi ada yang abadi dalam diri manusia: jiwa yang merindukan asalnya.
Asal itu bukan dunia. Asal itu adalah TUHAN.
Dalam setiap helaan napas, mungkin kita tidak sadar bahwa hati kita sedang memanggil sesuatu yang lebih besar dari diri kita. Dalam setiap pelukan, doa, senyum kecil—di situlah TUHAN hadir diam-diam, mengingatkan bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri.
Penutup: Kembali ke Keutuhan
Kita hidup di zaman yang sangat cepat. Tapi kadang, untuk menjadi manusia yang utuh, kita justru harus melambat. Harus duduk diam. Harus mendengar lagi detak hati dan napas iman.
Karena yang membuat manusia benar-benar cerdas, bukan hanya ketika ia tahu banyak, tetapi ketika ia tahu ke mana arah hatinya.