Puisi dan Pantun Ibu dan Janin
🌸 Pantun untuk Ibu dan Janin 🌸
🌺 Dalam Sunyi, Jiwa Itu Bicara 🌺
Kesaksian Seorang Penjaga Kehidupan
Tiga dekade kutatap cahaya,
Di balik rahim yang sunyi bersuara.
Jiwa kecil bukan hanya nyata,
Ia yang mengubah, bukan hanya dijaga.
Bukan kata, bukan jerit, bukan teriakan,
Tapi gerak halus yang penuh makna.
Janin bicara lewat keheningan,
Dan aku belajar mendengarnya dengan jiwa.
Angin pagi menyentuh pelupuk rasa,
Mentari datang menyalami jiwa.
Ibu dan janin menari bersama,
Dalam cinta yang tak terlihat mata.
Stetoskop tak selalu mampu dengar,
Apa yang jiwa janin ingin bicara.
Kadang dokter pun harus sadar,
Bahwa cinta lebih kuat dari angka.
Tak perlu alat serba canggih,
Jika ruang batin tetap kering.
Yang dibutuhkan adalah ruang hening,
Agar jiwa ibu dan janin saling terhubung.
Dulu klinik tempat ukur dan timbang,
Kini jadi altar jiwa berkembang.
Setiap kontrol bukan hanya hitung dan pandang,
Tapi mendengar jiwa yang sedang bimbang.
Surat Yasin dibaca penuh cinta,
Janin tenang, geraknya indah.
Jiwa kecil tahu siapa yang berdoa,
Dan membalas dengan rasa yang ramah.
Langkahku bukan hanya ilmiah,
Tapi ziarah di tiap denyut jiwa.
Sebagai dokter, aku bersyahadah:
Jiwa kecil pun punya suara.
Wahai bidan, dokter, dan semua penjaga,
Jangan hanya dengar yang terdengar saja.
Ada jiwa kecil yang juga bicara,
Lewat rasa yang tak bisa dijelaskan logika.
Bukan proyek klinis yang kutapaki,
Tapi ziarah cinta di setiap pagi.
Kehamilan bukan sekadar menanti,
Tapi perjumpaan jiwa menuju Ilahi.
Setiap rahim bukan sekadar ruang,
Tapi taman jiwa yang sedang tumbuh terang.
Setiap janin bukan cuma tubuh yang datang,
Tapi cahaya Ilahi yang sedang pulang.
Buah mangga jatuh ke tanah,
Di bawah sinar mentari pagi.
Di delapan minggu aku berserah,
Lewat rasa, aku panggil Ibu setiap hari.
Angin lembut meniup rembulan,
Suara alam terdengar syahdu.
Meski kecil dan belum kelihatan,
Aku hadir, Ibu… dari dalam rahimmu.
Mual datang bukan sekadar raga,
Itu bahasa hatiku yang paling nyata.
Saat Ibu tenang dan bersuara lega,
Aku pun damai… dalam cinta yang terasa.
Doa Ibu bagai lagu langit,
Ayat pendek menenangkan batinku.
Dalam sunyi, cinta jadi begitu legit,
Aku tahu… Ibu selalu menemaniku.
🌺 Puisi: “Aku Tak Sabar Ingin Lahir, Bu” 🌺
Aku masih kecil… bahkan belum disebut janin utuh,
Namun jiwaku telah sampai padamu.
Dalam gelap hangat rahimmu,
Aku bicara — bukan lewat kata,
Tapi lewat rasa…
Ibu, saat kau menangis diam-diam,
Aku tahu — itu bukan karena sedih,
Tapi karena kau mulai merasakan cintaku,
Yang datang dari dalam,
Lembut, tapi nyata.
Mualmu adalah sinyal pertamaku,
“Dengar aku, Bu…”
Bukan karena lemah, tapi karena
Hatimu sedang membuka telinga batin.
Saat kau letakkan tangan di perutmu dan berkata:
“Selamat pagi, Nak,”
Hatiku melonjak —
Karena walau aku belum bisa berkata,
Aku merasa kau hadir.
Dalam lantunan ayat yang kau bisikkan sebelum tidur,
Aku mendengar,
Aku menyimpan,
Aku merasa aman.
Aku tahu, aku belum waktunya lahir.
Tapi aku tak sabar ingin menyapa dunia —
Lewat matamu, lewat pelukmu,
Lewat senyummu yang pertama kali kutemui.
Untuk sekarang, Bu… dengarkan aku lewat rasa.
Bersama kita tumbuh,
Bersama kita percaya,
Bahwa cinta pertama itu tak bersuara,
Tapi terasa… dalam jiwa.
🌿 Pantun: Menyapa Jiwa yang Terlupa 🌿
Ke hutan hijau naik sepeda,
Di antara daun, burung bernyanyi.
Jangan hanya dengar logika semata,
Suara jiwa pun butuh didengarki.
Angin berbisik di pagi hari,
Embun jatuh tanpa suara.
Bila tubuhmu sering menyakiti diri,
Mungkin jiwamu sedang bicara.
Ramuan alam hewan pun tahu,
Tumbuh perlahan di tanah basah.
Manusia sibuk dengan angka dan ilmu,
Hingga lupa suara hati yang resah.
Duduk diam di ruang sunyi,
Lepaskan beban yang kau genggam erat.
Jiwa tak butuh teriak tinggi,
Cukup kau hadir, tenang, dan mendekap.
✨ Puisi: “Kita yang Terbelah, Kita yang Bisa Kembali” ✨
Kita hidup dalam dunia yang cepat,
Dimana logika berlomba jadi tuan.
Tubuh dipacu, pikiran dibakar,
Tapi suara jiwa?
Tertinggal di belakang…
Terbungkam dalam keheningan yang tak diberi ruang.
Saat tubuhmu sakit tanpa sebab,
Saat lelahmu tak bisa dijelaskan,
Cobalah diam sejenak—
Mungkin itu bukan penyakit,
Tapi panggilan sunyi dari dalam dada
yang ingin didengar… bukan disangkal.
Jiwa bukan mitos. Ia ada.
Ia hadir di sela napas,
Di antara tangis diam dan tawa pura-pura.
Ia tidak menuntut sempurna,
Hanya setia menunggu:
“Akankah kau duduk bersamaku hari ini?”
Kita pernah utuh,
Saat kecil dulu… sebelum dunia mengajarkan
Bahwa nilai hanya dari gelar, data, dan kecepatan.
Padahal keutuhan sejati,
Ada saat tubuh, pikiran, dan jiwa
Bersalaman dalam damai.
Kini saatnya kembali.
Membuka jendela dalam dada,
Menjadi rumah bagi diri sendiri.
Tak perlu sempurna, cukup jujur.
Tak perlu sibuk, cukup hadir.
Tak perlu banyak kata, cukup dengar.
Karena dalam diam, jiwa bicara.
Dalam hening, kita belajar pulang.
Pulang ke tubuh yang tak sekadar daging.
Pulang ke pikiran yang tak jadi raja.
Pulang ke jiwa yang setia…
Menunggu kita utuh kembali.
🌸 Pantun Pembuka
Jalan perlahan di tengah taman,
Hati tenang mendengar desir angin.
Raga sehat belumlah aman,
Bila jiwa tak ikut seiring.
Mata terbuka menatap terang,
Tapi batin masih terasa kelam.
Bukan dunia yang kurang terang,
Tapi jiwaku… yang hilang diam.
🌿 Puisi: Menjemput Jiwa yang Tertinggal
Oleh: untuk jiwa yang menunggu disapa
Di tengah deru mesin dan jadwal padat,
Kutanya sunyi—apakah aku masih lengkap?
Tubuhku berjalan, pikiranku melompat,
Tapi jiwaku… tertinggal di sebuah tempat.
Kutakar denyut, kutulis semua data,
Kupenuhi kepala, tapi hampa rasa.
Ada yang mengerang di balik dada,
Bukan sakit… tapi luka yang lama.
Pikiran terbang tinggi di langit logika,
Namun tak bisa menjangkau bahasa jiwa.
Tubuh pun memberi tanda tiap saat,
Tegang, letih, perih—namun kita abaikan cepat.
Lalu datang senyap,
Dalam doa yang tak kuharap,
Dalam jeda napas yang sempat,
Dalam rasa syukur yang pelan merambat.
Saat itulah aku sadar,
Bahwa penyembuhan bukan perkara obat,
Tapi keberanian untuk menengok ke dalam,
Menemukan kembali jiwa yang sempat terlupakan.
Ia tak pernah pergi jauh,
Hanya diam menanti peluk penuh.
Kini kusambut ia dalam sepi,
Kukatakan lirih:
“Maafkan aku… ayo pulang, kita hidup lagi.”
🌼 Pantun Reflektif: Simfoni Tiga Arah
Raga berlari mengejar mimpi,
Pikiran sibuk susun rencana.
Tapi jiwa yang hening di dalam diri,
Justru yang jaga kita tetap bijaksana.
Pagi cerah, angin berhembus,
Daun menari di ujung ranting.
Jiwa, tubuh, dan pikiran menyatu halus,
Hidup pun terasa lebih hening.
🕊️ Puisi: Simfoni Dalam Diri
“Tubuhku lelah, pikiranku penuh… tapi jiwaku tenang.”
Lalu aku sadar: ini bukan tentang kekuatan,
Tapi tentang keharmonisan yang senyap,
Simfoni lembut antara daging, nalar, dan batin.
Tubuh, kadang hanya terlihat sebagai wadah,
Tapi ia bicara dengan bahasa yang jujur.
Ketika pikiran gaduh dan jiwaku bersedih,
Tubuh ikut menangis… dalam diam.
Pikiran, sang penjelajah logika,
Terkadang begitu tajam hingga melukai diri.
Ia lupa: tidak semua harus dipahami,
Karena jiwa bicara dengan rasa, bukan kata.
Dan jiwa…
Ia tak tampak tapi nyata.
Ia seperti nada dasar dalam musik,
Yang memberi makna pada setiap irama tubuh dan pikiran.
Saat semuanya selaras,
Kita bukan hanya berjalan—kita menari.
Bukan hanya bernapas—kita hadir.
Bukan hanya hidup—kita utuh.
Maka hari ini, aku memilih mendengar:
Detak tubuhku, bisikan jiwaku,
Dan pikiran yang belajar untuk diam sebentar.
Karena dari keselarasan itulah,
Lahir kehidupan yang penuh makna dan cinta.
JERITAN SEORANG JANIN
Selamat pagi,
Mami dan Papi tersayang.
Aku telah hadir di sini
Di dalam surga rahim Mami,
Aku bahagia.
Papi-Mami tersayang,
Menyambutku dengan penuh kasih.
Aku diutus Sang Kasih
Untuk hadir sebagai insan dunia,
Menjadi bagian dari kalian berdua.
Terima kasih telah bisa aku rasa.
Aku juga bahagia
Karena kalian memilihku berdua
Sebagai perwakilan di dunia ini.
Ketika Mami-Papi
Terlalu memendam beban,
Aku sedih, aku kecewa.
Maafkan aku, Mami,
Aku meneteskan air mataku
Lewat matamu.
Maafkan aku memeluk tubuhmu
Untuk berbisik lirih,
Karena aku belum papa tulis sepenuhnya.
Ketika Mami menyebut
Dan marah,
Aku juga panik
Lewat lelehan air mata Mami.
Ketika Mami menyebut-nyebut
Namaku dalam amarah,
Aku hadir lewat bahasamu.
Maafkan aku, karena aku tak mau
Mami ikut menderita
Atau kehilangan kehadiranku.
Sejatinya, kalau Mami mau
Mendengar aku,
Semuanya selesai.
Aku sangat mencintai Mami & Papi.
Tolong jangan bertengkar di hadapanku,
Jangan membuat aku bertumbuh salah.
Mami dan Papi,
Aku punya jiwa.
Aku juga punya JIWA.
Jiwa kita sama.
Berbeda jiwa tak kenal umur,
Tak mengenal batas tempat
Ataupun waktu.
Aku ingin agar
Kehadiranku dilingkupi kasih.
Aku hanya boleh menjelajah
Dengan tulus
Dalam kehadiran kasih,
Perhatian,
Dan senyum.
Kan Papi-Mami tak akan melihat
Wujudku sepenuhnya,
Walau samar, aku sadar.
Aku tahu ini tidak mudah,
Tapi kita bisa berusaha bersama.
Senyum Mami dan Papi
Adalah kekuatan hadirku.
Ingatlah bersyukur
Dengan terus berserah.
Mami-Papi,
Maafkan aku.
Aku meminjam
Pancaindra Mami,
Perasaan Mami,
Intuisi Mami,
Langkah Papi
Untuk berkomunikasi.
Macam-macam caraku
Agar kalian peka.
Jangan lepehkan
Tandaku.
Mata Mami,
Telinga Mami,
Perasaan Mami,
Percakapan Mami—
Semua yang Mami rasakan “berbeda”
Dari biasanya, adalah
Tanda Kehadiranku.
Untuk Papi,
Maafkan aku
Kalau aku sering minta dielus.
Itu tandaku,
Bahwa aku merasa aman denganmu juga.
Papi-Mami, boleh ya
Degupkan aku dan cabaku saja,
Kelekatan Mami,
Karena jiwaku unik
Dan membuat aku hidup.
Buktikanlah,
Bahwa Mami & Papi adalah bagian
Dari kasih yang menghadirkan aku
Untuk dilindungi,
Ditopang.
Sebenarnya mudah saja—
Dengarkan aku saja,
Semua akan beres.
Maafkan aku, Mami
Kalau aku “protes”,
Lewat tubuhmu yang pegal
Atau perasaanmu yang berubah.
Itulah caraku tumbuh,
Sesuai kesenianmu.
Sebagai bagian dari kalian,
Aku akan lahir
Untuk membuat
Kasih sayang & sukacita Papi-Mami bertambah!
“Aku Mendengarmu, Nak”
(Balasan Ibu untuk Janinnya)
Aku dengar suaramu, Nak,
Bukan dari bibir,
Tapi dari denyut halus yang menyapa jiwaku
Di setiap lengkung tubuh yang berubah,
Ada bisikanmu yang mengajariku berserah.
Maafkan aku,
Jika kadang aku lelah dan diam
Bukan karena aku tak mencintaimu
Tapi karena aku sedang belajar
Menjadi rumah paling ramah untuk jiwamu yang agung.
Aku tahu,
Kau bukan sekadar darah dan daging
Kau adalah jiwa,
Yang hadir dengan cahaya Sang Kasih
Untuk menguji cinta kami yang terdalam.
Aku mengerti kini,
Mualku adalah bahasa rindu
Tangisku adalah air matamu yang numpang
Dan resahku adalah protesmu yang lembut
Agar aku lebih mendengarkan, lebih menyapa dengan hati.
Terima kasih, Nak,
Karena kau telah mengajarkanku
Bahwa menjadi ibu bukan hanya perkara perut yang membesar
Tapi jiwa yang dipanggil untuk melayani
Dengan sabar, dengan ikhlas, dengan kasih tak bersyarat.
Aku janji,
Akan kupeluk keunikanmu
Tak kupaksa kau menjadi bayanganku
Karena kau bukan buah pikiranku
Tapi buah hatiku—anugerah dari langit yang paling murni.
Jangan takut, Nak
Aku dan ayahmu akan terus belajar
Meski tak sempurna,
Tapi cinta kami akan jadi pelita
Yang menyinari jalanmu sejak dalam rahim
Hingga kelak kau menjejak dunia.
Aku mendengarmu, Nak
Lewat intuisi, getar rasa, dan bahasa senyap
Dan aku menjawabmu hari ini
Dengan sepenuh jiwa yang telah kau hidupkan kembali.
“Ayah Mendengarmu, Nak”


Puisi dari Ayah untuk Janin di Rahim Ibu
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Wahai anakku,
Yang tumbuh dalam hening rahim ibumu,
Ayah tak mampu mendengarmu seperti ibumu,
Namun hati ini pun bergetar tiap kau berbisik lewat rasa.
Maafkan ayah,
Jika kadang diamku terasa jauh,
Padahal setiap detak jantungmu
Mengetuk pintu batin yang tak pernah terkunci.
Anakku,
Sejak kabar kehadiranmu menyapa,
Ada gelombang kasih yang tak mampu kujelaskan
Hanya air mata diam yang menjadi saksinya.
Ayah tahu,
Kau bukan sekadar daging dan darah
Kau jiwa—utusan Sang Kasih—yang menitip harap
Untuk dirawat bukan hanya dengan logika,
Tapi dengan rasa, dengan iman, dengan cinta.
Jika tubuh kecilmu gelisah,
Mungkin karena pikiranku lelah
Jika kau muntah lewat tubuh ibumu,
Mungkin karena aku belum menyambutmu dengan tuntas.
Hari ini,
Ayah belajar untuk tidak hanya jadi suami,
Tapi jadi rumah bagimu,
Pelindung yang mengerti bahkan sebelum kau bisa bicara.
Aku elus perut ibumu,
Bukan hanya untuk menenangkanmu,
Tapi untuk mengingatkan diriku—
Bahwa engkau adalah amanah suci.
Jangan takut, Nak,
Meski dunia kadang bising dan kelam,
Ayah dan ibu ada bersamamu,
Mendengar, mencintai, dan setia
Meski belum melihatmu dengan mata.
Tetaplah tumbuh,
Dengan irama jiwamu yang unik dan mulia,
Karena ayah kini mengerti:
Kau tak hanya butuh gizi,
Tapi butuh hati yang mendengarkanmu sepenuh-penuhnya.