
“Suara yang Tak Terucap: Renungan Jiwa dari Sebuah Janin”
Oleh : dr. Maximus Mujur, Sp.OG
Di balik keheningan rahim, tersembunyi sebuah suara. Ia tak menggetarkan udara, tak membelah ruang dengan gelombang bunyi. Namun suara itu nyata — mengetuk nurani, menyentuh rasa, dan membangkitkan kesadaran yang seringkali tertidur: suara dari jiwa seorang janin.
“Selamat pagi, Mami dan Papi tersayang. Aku telah hadir… di dalam surga rahim Mami. Aku bahagia.”
Ini bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan nyanyian jiwa dari seorang janin yang belum sempurna tubuhnya, namun telah utuh jiwanya. Ia hadir bukan hanya sebagai calon manusia, tetapi sebagai utusan kasih — mengingatkan orangtuanya bahwa ia adalah buah hati, bukan buah pikiran.
Dalam dialog batin yang menggetarkan, janin mengadu:
“Ketika Mami lebih taat dengan kata ‘enak’, maafkan aku, aku menolak… dengan mual dan muntah.”
Seringkali mual dipahami sebagai gangguan fisiologis. Tapi sebenarnya, ia bisa menjadi bentuk komunikasi. Sebuah permohonan lembut agar ibu lebih mendengar dan menyadari bahwa dalam rahimnya sedang tumbuh sebuah kehidupan unik — dengan kebutuhan dan ritmenya sendiri.
Janin itu berkata dengan jujur:
“Aku meminjam pancaindra Mami… perasaan Mami… intuisi Mami… dan tubuh Mami untuk berkomunikasi.”
Sang janin belum mampu berbicara, tapi punya pesan. Belum punya tangan, tapi ingin disentuh. Belum punya mata, tapi melihat lewat mata ibunya. Semua sensasi, rasa, dan intuisi ibu adalah jembatan antara dunia rahim dan dunia luar.
Betapa agung peran seorang ibu: ia bukan hanya pengasuh fisik, melainkan penjaga komunikasi jiwa — antara dua insan yang belum pernah bertatap muka.
Namun suara ini juga membawa luka:
“Ketika Mami mengeluh dan marah, aku juga pusing… lewat kepala Mami. Ketika Mami mengomel, kadang aku hadir lewat batuk-batuk…”
Janin adalah saksi dari setiap emosi dan konflik. Ia merasakan semuanya lewat tubuh ibunya. Dan ketika cinta itu terganggu oleh kekesalan atau pertengkaran, ia pun ikut tersesat dalam semesta rasa yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Dan akhirnya, dengan lembut, janin memohon:
“Aku sangat mencintai Mami dan Papi… tolong, jangan bertengkar di hadapanku. Jangan membuat aku bertumbuh salah.”
Permintaan ini bukan sekadar keinginan, tapi panggilan dari jiwa kecil yang sedang belajar mengenal dunia. Ia ingin tumbuh dalam damai, dalam cinta, dalam kerukunan. Ia ingin menjadi manusia yang tidak hanya lahir, tapi juga diterima.
Renungan:
Tulisan ini adalah panggilan untuk mendengarkan. Bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati. Karena suara janin adalah suara jiwa — lembut, jujur, dan sering kali terabaikan. Dalam kehamilan, bukan hanya tubuh yang berubah. Jiwa pun turut bertumbuh — bukan hanya janin, tapi juga ibu dan ayah.
Maka, dengarkanlah. Dengarkan suara yang tak terucap.
Karena bisa jadi… itulah suara Tuhan yang sedang membisikkan cinta-Nya — melalui napas kecil yang bertumbuh diam-diam dalam rahim seorang ibu.